Pukul 6.35 pagi jalanan terlihat padat dengan manusia serta kendaraan yang berseliweran. Debu jalanan mulai berterbangan kesana kemari bersanding dengan rutinitas tiap insan manusia pagi ini. Di simpang tujuh ujung jalan Eltari I tepat di depan kantor Gubernur NTT beberapa orang bocah kecil dengan sigap menawarkan koran kepada setiap orang yang kebetulan lewat di jalan itu bersamaan dengan nyala lampu Traffic Light yang berwarna merah.
Tampak seorang pria setengah baya menurunkan kaca jendela mobilnya sambil menyodorkan lembaran uang ribuan kepada sang bocah. Sementara di sisi lainnya seorang bapak yang sedang membonceng anaknya yang berpakaian sekolah terlihat mengeluarkan dompetnya sembari memberi uang seribuan untuk mendapatkan koran dari tangan mungil sang bocah. Pemandangan ini terhenti ketika lampu Traffic Light berwarna hijau dan para bocah penjajah koran pun langsung menepi ke taman.
"Wei….kalau om wartawan dong bikin berita ke begini terus, ketong jual koran cepat laku hang?"
"Ho b pung sa su laku 10 padahal masih pagi ni," sambung rekannya.
"Itu karena ada rame mau Pilkadal na, su begitu ada berita kasus korupsi besar – besaran oleh pejabat teras dong makanya orang dong bacari koran ko mau baca kalau sonde ju sama sa," sambung seorang bocah lainnya menimpali pembicaraan dua rekannya.
"He ko lu tahu dari mana Ebu?" tanya Ois keheranan.
"Baca koran yang ketong jual ni!"
"Makanya besong jangan hanya jual koran sa baca ju dia pung isi,” jawab Ebu sambil merapikan tumpukan koran di tangannya.
"Ehh… b malas baca hanya bikin sakit hati sa ko abis hanya panas – panas tai ayam sa istilah orang pintar dong, nanti ju diam dengan sendirinya sonde ada kelanjutan, su sama ke ketong masak air sa ais itu ju menguap dia su dingin," sanggah Ois.
"Ketong sonde boleh begitu, itu namanya malas tahu."
"Kalau semua orang ke lu na tambah parah su ini negara, ko yang su pake demo sampe gargantang dong mau putus sa yang diatas sonde toe, apalagi kalau semua orang apatis."
"Ebu e…lu su pake istilah apa tu..?"
"Lu pung baomong su ke orang yang sekolah sa padahal hanya tamat SD."
"Jangan salah bro!! biar beta cuma tamat SD ma b pung otak sarjana."
"We..we..we…tolong ko jangan talalu lebe – lebe, orang omong dia tambah deng dia pung bro lai, omong pake bahasa yang merakyat sa biar ko ketong ju bisa masuk, jangan talalu pake banyak istilah andia ko bikin bodoh tambah deng ketong."
"B lia – lia lu ni sonde ada beda deng itu pembesar dong yang talalu banyak pake istilah biar ko orang kici ke ketong son mangarti, dong hanya bikin bingung ketong trus dong ceke doi rakyat sampe mampus," sambung Ois.
"Andia itu makanya b sonde mau talalu baca koran ketong bisa terpengaruh deng dong pung otak, apalai kalo dong su ba cs deng om wartawan dong ketong tambah parah lai masuk lobang bodo - bodo."
"Lu salah nilai beta kawan, beta baca koran tapi beta sonde asal telan bulat sa yang b baca tapi b masih olah dia lai pake ini ni," jawab Ebu sambil menunjuk testanya pada dua orang rekannya.
"We su mau merah tu mari su," teriak Kure bocah yang paling kecil diantara dua orang rekannya sambil berlari kecil ke jalanan mengajak dua rekannya untuk segera kembali bekerja.
"Ho lu pi duluan," jawab Ebu dan Ois secara bersamaan.
***
Pancaran terik sinar mentari terasa semakin panas pertanda hari telah merambat siang. Sementara itu didalam taman dibawah pohon yang rindang dua orang bocah penjual koran Ois dan Ebu masih asyik berbicara soal jawab mengenai keadaan tanah nenek moyang mereka, mengenai bangsa dan negara tercinta beserta para pembesar dan pemimpin mereka yang secara tidak langsung kemunculannya didalam sebuah berita menjadi topik utama selalu diburu para penikmat koran apalagi jika berita itu memuat sensasi yang selalu berkorelasi dengan larisnya koran yang mereka jual.Sementara itu rekan mereka Kure sibuk menawarkan koran kepada para pengendara yang kebetulan melintas.
"Kalau beta Ebu, b ju dulu ke lu ma sekarang b su malas, lebe bae b baca berita seputar selebriti dong atau berita olahraga sa biar otak segar daripada baca ini kondisi Negara yang harbabiruk bikin ketong pung hidup tambah merayap deng dada, terakhir ketong bisa mati gara – gara sakit hati," ujar Ois sambil menghela napas dalam.
"Beta sonde bisa begitu Ois, apapun yang terjadi be biar hanya penjual koran tapi be su dilahirkan untuk selalu berpikir kritis."
"Memang bae ju harus ada orang yang ke lu, makanya beta selalu berharap ketong pung kaka – kaka mahasiswa bisa terus berteriak menuntut keadilan."
"Ho…beta ju harap begitu ma lu tau sandiri sekarang ni ju banyak mahasiswa yang bergerak karena su ditunggangi su sonde murni lai hati nurani, itu yang mesti ketong hati – hati te dong banyak yang bawa kepentingan tertentu ju."
"Itu su be tambah makan hati lai kalau aparat penegak hukum yang seharusnya tertib hukum malah jadi sponsor untuk melanggar hukum," tandas ois sambil mengusap keringat di dahinya.
"Sistem cuma sistem tapi sonde boleh bikin repot yang jadi persoalan sistem dibuat bukan untuk melayani tapi buat semakin repot, b jadi bingung sistem yang salah ko oknum yang menjalankan sistem yang harbabiruk?" tambah Ebu.
"Itu su ketong pung anggota dewan yang terhormat ju sonde bisa diharapkan bukannya dengar rakyat ma dong bikin iko dong pung mau sa," pangkas Ois.
"Sssssssssttttss….omong pelan – pelan sa kawan orang dengar ketong bisa rusak," sambar Ebu.
***
"We kawan b pulang duluan e," Kure menyapa dua rekannya.
"He lu pung su laku abis ko?” tanya Ois sedikit kaget.
"Sudah kawan!! Makanya besong dua dari tadi b panggil sonde toe hanya baomong sa sonde bajual, lebe bae ke beta kici anak sonde omong banyak ma su laku abis bukan ke besong."
"Daaaaa…...b pi setor di bos Joe do biar ko b bisa tidur siang," pungkas Kure sambil tertawa riang berjalan meninggalkan dua orang rekannya yang tampak kebingungan melihatnya pergi.
Brrrraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkk................
Kure sang bocah kecil terkapar di aspal jalanan ditabrak oleh sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil itu tampak berhenti sejenak lalu pergi berlalu seperti tidak terjadi apa – apa. Banyak orang lari menuju arah Kure sambil berteriak mencoba untuk memberhentikan laju mobil tersebut tapi apa daya mobil itu berlalu dengan begitu cepat.
Di atas trotoar jalanan, tatapanku belum lepas dari ketiga orang bocah itu. Begitulah ketika mereka ikut bicara tentang kondisi serta harapan mereka akan negeri ini. Benakku seperti tak mampu untuk sekedar memberi judul dari apa yang mereka bicara. Karena apa yang baru kusaksikan seperti kondisi negeri ini yang nyaris tanpa judul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar