Menu
Animated Buttons - "Pressed Effect"
... !doctype>!doctype>Slideshow
Automatic Slideshow
Change image every 3 seconds:
1 / 3
Bahagia Itu Sederhana
2 / 3
Beriman Itu Sederhana
3 / 3
Hidup Penuh Syukur
Rabu, 04 Mei 2016
Siapkan Pendidikan Seimbang
Anak saya mengabarkan kepada saya bahwa Senin, 02/05/2016 mereka libur karena ada upacara memperingati Hari Pendidikan Nasional sehingga para guru beserta siswa/i kelas 4 s.d kelas 6 mengikuti upacara dimaksud. Sedangkan siswa/i kelas 1 s.d 3 diliburkan. Kebetulan anak saya duduk di kelas 3.
Mendengar hal tersebut saya sebenarnya tak terlalu suka karena menurut saya hal ini sangat ironis, diliburkan di saat memperingati Hari Pendidikan Nasional. Apalagi meliburkan siswa hanya karena perayaan klasik nan konvensional seperti upacara bendera. Seharusnya kalau boleh saya usul, memperingati Hari Pendidikan Nasional mestinya tidak lagi terpaku pada pola konvensional seperti itu yang hanya sekedar mengikuti upacara dan mendengar arahan atau sambutan tertulis Menteri melainkan mesti diisi dengan beragam kegiatan positif di luar dari kegiatan belajar mengajar dalam kelas misalnya mengunjungi museum atau tempat-tempat bersejarah. Atau boleh jadi mengunjungi sentra-sentra kerajinan tangan atau bisa juga kunjungi tempat-tempat yang dapat mengasah empati mereka terhadap sesama manusia.Tapi ya sutralah....
Saya pun tiba-tiba teringat sebuah percakapan dengan seorang teman tentang pendidikan beberapa waktu silam. Teman saya bilang begini," kelak kalau dia punya anak, dia tak akan menyuruh atau memaksa anaknya untuk mendapatkan rangking kelas karena menurutnya rangking tak menjamin seseorang memiliki hidup yang baik dan layak."
Pandangan teman saya ini tentu saja membuat kita larut dalam diskusi panjang. Apa yang disampaikannya boleh jadi bentuk keprihatinan terhadap kondisi terkini bangsa atau boleh jadi bentuk rasa putus asa terhadap hidup yang baginya tak membutuhkan rangking. Karena toh, menurutnya ketika hendak melamar pekerjaan kelak, tidak pernah ditanya nilai raport dan rangking, yang ditanya dan dimintai hanya ijazah terakhir. Dia berargumen bahwa sistem di Negara ini belum mengakomodir orang-orang pintar dan cenderung mengabaikan proses karenanya ia tak mempermasalahkan anaknya kelak tak mendapat rangking yang penting bisa naik kelas dan tamat dengan nilai yang pas untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Lain teman saya, lain pula om saya. Suatu ketika om saya menceritakan dengan bangga kisah anaknya yang sangat cerdas menurutnya. Diceritakan, anaknya memiliki kemampuan akademis yang sangat memuaskan namun suatu ketika dia dipanggil pihak sekolah karena anaknya terkesan enggan dan ogah-ogahan mengikuti mata pelajaran sejarah serta memiliki nilai yang sangat pas-pasan pada pelajaran tersebut.
Ketika dipanggil pihak sekolah, om saya itu bukannya mendengar pihak sekolah tetapi justru mendukung apa yang dilakukan oleh anaknya karena bagi om saya, anaknya mesti mempelajari matematika dan ilmu pasti karena itulah yang akan berguna dan dikerjakan dalam kehidupan saat sudah bekerja. Sedangkan pelajaran sejarah menurutnya justru pelajaran reka-rekaan yang belum tentu benar dan tidak memiliki dampak langsung pada kehidupan kelak.
Apa yang dikemukakan om saya dapat saya maklumi melihat latar belakangnya sebagai seorang teknisi yang bekerja di Perusahaan Listrik. Boleh jadi, pengalamannya sebagai seorang teknisi membuatnya merasa matematika, fisika, dan kimia sangatlah penting karena langsung berhubungan dengan bidang pekerjaan yang digelutinya dan boleh jadi dia telah memiliki rencana bagi anaknya di masa depan kelak.
Walaupun demikian, hemat saya apa yang dilakukan oleh om saya tetaplah tidak dapat dibenarkan karena secara tidak langsung dia telah mengajarkan kepada anaknya sebuah pelajaran diskriminasi. Padahal, semua mata pelajaran/ ilmu pengetahuan memiliki nilai sejajar dan tak pantas untuk di tinggi rendahkan.
Perspektif tentang pendidikan dalam hal ini memiliki banyak dimensi dan hal paling ekstrim tentu saja Robert T. Kiyosaki yang beranggapan bahwa tak perlu sekolah, cukup diajarkan bagaimana sejatinya menghasilkan mesin uang yang bekerja untuk kita.
Berbagai pandangan tentang pendidikan sah-sah saja namun bagi saya bangku pendidikan terutama pendidikan formal mestinya dipahami sebagai sebuah jalan untuk mencerdaskan yang nantinya bermuara pada menjawabi sejumlah soal kehidupan. Karenanya, hal paling bijak adalah pendidikan mesti ditekuni dengan keseriusan. Artinya, rangking kelas adalah bentuk pertanggung jawaban seorang anak sebagai siswa/i kepada orang tua. Dengan begitu seorang pelajar menjalankan kewajiban untuk belajar menuntut ilmu setinggi mungkin dengan kedisiplinan tinggi.
Bahwa kecerdasan buah dari pendidikan tidak bisa dipandang secara parsial apalagi hanya berorientasi pada bentuk kemapanan yang aman. Kecerdasan mestinya komprehensif tidak hanya kecerdasan fisik tetapi juga psikis dan terutama tentu kecerdasan spiritual sehingga seseorang tumbuh menjadi pribadi yang komplit.
Untuk mencapai hal tersebut tentu bukan perkara mudah apalagi menyangkut kompleksitas kehidupan yang kini serba instan dengan tingkat kesibukan yang super. Butuh Sinergy banyak pihak. Pemerintah, Lembaga Sekolah, maupun orang tua/wali murid, dan terutama siswa itu sendiri.
Seluruh elemen yang terlibat dalam proses pendidikan mesti memiliki sense of belonging dengan rasa tanggung jawab yang tinggi untuk jalan bergandeng tangan sama-sama menjalankan proses sesuai peran masing-masing.Sehingga dengan keseimbangan kecerdasan yang dimiliki boleh melahirkan generasi-generasi bermutu.
Jadi, apapun kurikulumnya entah KTSP atau K13 sejatinya seluruh unsur yang terlibat dalam proses pendidikan mesti memiliki satu visi yang sama yakni menyiapkan generasi muda untuk masa depan bukan menyiapkan masa depan untuk generasi muda.
Kalo sudah se-visi khan enak, seenak menikmati bakso di kedai Nyuk Nyang...hmmm yummi. Selamat memperingati HARDIKNAS!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Selamat memperingati hardiksnas, setuju kalau seharusnya sekolah justru tetap masuk bukan malah libur, sehingga waktu nya malah di pakai untuk main2, malah menghilangkan arti peringatan hardiknas itu sendiri.. seperti peringatan HKN (hari kesehatan nasional), pelayanan ke masyarakat tetap jalan walaupun tetap di rayakan oleh semua tenaga kesehatan. Menambah sedikit tentang pelajaran sejarah, justru merupakan pelajaran yang penting, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah nasional bangsa itu sendiri!
BalasHapusMantap cep. Pendidikan mesti seimbang cerdas fisik, cerdas psikis, dan cerdas spiritual.
BalasHapus