Dari
biliknya yang sempit dan gelap, tangannya yang keriput dibuatnya seolah
– olah teropong di lubang ventilasi untuk melihat keluar alam bebas.
Lalu diarahkannya teropong dari tangannya keatas langit dan memandang
langit malam ini yang sungguh terlihat anggun. Tampak bulan purnama
dengan pancaran sinarnya seolah memimpin paduan cahaya langit. Kerlap
– kerlip bintang seakan berdansa mengikuti alunan derai angin sepoi
yang menyelinap diantara dedaunan yang bersahutan dengan suara kodok
serta jangkrik malam.
Dia
terus menatapnya hingga begitu dalam sedalam pesona kedamaian yang
terpancar di malam ini. Benaknya perlahan terbang ke masa silam seluas
angkasa raya yang membentang di pelupuk matanya. Satu per satu kisah
silamnya terangkum begitu jelas seperti episode sinetron yang terus
berlanjut. Berawal dari masa kecilnya di desa yang dipenuhi dengan gelak
tawa ceria bersama teman – temannya saat menyusuri hutan mencari kayu
api, saat mandi di kali, saat bersama teman – temannya bakar ubi dan
jagung, hingga saat bersama menempuh pendidikan di bangku SD hingga
akhirnya ia menamatkan Sekolah Menengah Pertama sebelum melanjutkan
pendidikannya di kota .
Berbekal
tekad yang kuat dia berhasil menempuh pendidikan SMA-nya di kota dengan
prestasi yang cukup membanggakan sebagai seorang anak petani dari desa.
Guratan wajah serta senyuman rekan –rekannya di bangku SMA masih
terlihat jelas olehnya. Sesekali ia tersenyum saat teringat olehnya
kenakalan kecil yang dibuatnya bersama rekan – rekannya di sekolah yang
membuat gurunya marah. Dan terlintas wajah seorang gadis polos yang dulu
sempat di pacarinya. Wajahnya seketika berubah merah ketika teringat
saat harus menamatkan sekolah dan berpisah dengan gadis pujaannya. Saat
itulah pertama kali ia menyentuh tangan gadis itu serta merta mencium
kening sang gadis. Ia pun menarik napas berat dan dalam.
Matanya
tak berkedip seakan terus memacu benaknya untuk terbang meneropong
penggalan kisah hidupnya di masa silam. Kerutan di wajahnya tak
menghalangi memori otaknya untuk terus berpacu menyajikan kisah tempoe
doeloenya…
Teringat
olehnya pertama kali duduk di bangku kuliah. Bagaimana dia untuk
pertama kalinya meninggalkan bumi Flobamora menuju tanah Jawa demi satu
tujuan meraih gelar sarjana. Tampak dia melempar senyum penuh kebanggaan
karena tidak semua orang bisa kuliah dengan
gratis tanpa membayar sepeser pun. Itupun di salah satu Universitas
Negeri ternama di Negara ini. Maklum, beasiswa sudah menjadi langganan
untuknya berkat kecerdasan otaknya. Ia pun tak mampu melupakan gerak –
geriknya semasa di bangku kuliah. Bagaimana ia memimpin rekan – rekannya
untuk turun kejalan mengangkat setinggi – tingginya
panji kebenaran dan keadilan. Bagaimana ia selalu berteriak dengan
lantang membela kaum kecil, bagaimana ia berdiri paling depan dan
berteriak paling nyaring untuk
sebuah perubahan yang dianggapnya sebagai suatu keharusan, dan masih
terus membekas di benaknya bagaimana ia harus berurusan dengan aparat
keamanan akibat dari begitu besar dan kuatnya dorongan dalam dirinya
untuk selalu peduli pada sesamanya yang ditindas.
Ia
pun masih ingat betapa banyaknya buku tentang tokoh – tokoh
revolusioner yang dilahap sebagai bahan referensinya. Bahkan ia masih
mengingat julukan yang diberikan rekan – rekannya serta dosen kepadanya
dengan sebutan “ Macan Revolusi “. Ia terkenal sangat peka terhadap
kepentingan rakyat jelata. Saking kritisnya kelima panca inderanya
seakan tercipta hanya untuk membela serta menjunjung tinggi kebenaran
serta keadilan tanpa harus mundur barang selangkah.
Tiba
– tiba wajahnya berubah muram ketika benaknya membawa sepenggal kisah
tentang bagaimana ia mulai terlibat masuk bekerja dalam sistem
pemerintahan. Seiring berjalannya waktu perlahan julukan “ Macan
Revolusi “ yang pernah disematkan padanya berubah menjadi “ Macan Ompong
Revolusi “. Kegarangannya dalam membela kaum
proletar perlahan mulai terkikis habis. Apalagi ketika dia telah duduk
sebagai stakeholder dalam struktur pemerintahan. Ia tidak lagi buas
meneriakkan kebenaran dan keadilan justru sebaliknya ia buas menyantap
kue kenikmatan yang diperas dari rakyatnya.
Tangannya
gemetar. Ia pun menarik teropong yang tidak lain adalah tangannya
sendiri dan segera membalikkan badannya. Airmata tampak menetes di
wajahnya. Lalu ia menuju ke dipan tepat di sampingnya. Disitu ia
mengambil Alkitab dan memeluknya erat sambil terus menangis. Entah apa
yang ia rasakan? Entahlah…
***
Pagi – pagi benar ketika jarum jam dirumahku menunjukkan tepat pukul 06.00 seperti biasanya aku sudah terbangun dan langsung kucari koran pagi didepan rumahku namun tidak kutemukan.
“ Biasanya jam segini sudah diantar sama loper koran tapi koq sampai sekarang belum juga ya?”
“
Mungkin saja anak yang biasa ngantarin koran sedang sakit pak atau
anaknya terlambat paling agak siangan korannya juga sudah diantar,”jawab
istriku.
Entahlah
tak tahu kenapa pagi ini aku begitu resah ingin membaca koran bahkan
sebelum beranjak ke kantor sambil menikmati kopi susu serta roti yang
dihidangkan oleh istriku. Aku sesekali melihat keluar rumah berharap
anak pembawa koran datang menghantarkan koran namun koran pagi
langgananku belum juga diantar hingga aku berangkat ke kantor.
Sesampainya di kantor aku melihat rekan kerjaku ramai membicarakan soal eksekusi mati.
“ Kasihan ju Bapa tua su tinggal tunggu hari sa”, begitu kata Vagan temanku.
“
Itu su beta ju kasihan ma mau bilang apa lai Bapa tua salah sendiri
dulu pas masa jaya berkuasa tindas orang sana – sini makan uang rakyat,
begini su dia pung akibat,” sambung Xaver rekanku.
Langsung saja kurebut koran pagi yang sedang di pegang Xavier.
“ Besong ada omong Bapa tua sapa lai ni?,” tanyaku penasaran.
“ Lu baca sendiri sa itu satu halaman besar ada tulis tu,” jawab Vagan.
“
Beta setuju kalau koruptor dihukum mati kalau dong sonde mampu bayar
kembali uang hasil korupsi dua kali lipat ke Negara, biar ko ini Negara
bebas dari korupsi,” rekanku Xavier menambahkan.
Aku
terus larut mengikuti barisan kata – kata yang tersusun rapi dihalaman
harian pagi ini tanpa mempedulikan pembicaraan dua orang temanku lagi.
***
Seperi
biasanya sebagai seorang Sipir penjara aku menjalankan tugas
sebagaimana mestinya. Aku melangkah melewati lorong pekat diantara
jeruji besi dari sel yang satu ke sel yang lain. Namun tiba- tiba
langkahku terhenti begitu sampai di sebuah sel yang tampak tak ada
penghuninya. Kulayangkan pandang menyusuri tiap jengkal sel ini
kuteringat satu sosok yang tampak jelas dalam
ingatanku 2 tahun silam ketika itu menatap kealam diluar sana dengan
teropong dari tangannya sendiri. Ya …sosok yang dulu dipuji sekaligus
dicacimaki akibat perbuatannya sendiri. Sosok yang 2 tahun silam
memenuhi hampir di semua media massa yang terbit di negeri ini. Om Rogan
begitu aku biasa menyapanya.
Masih jelas dalam ingatanku guratan wajahnya di malam itu ketika
memeluk Alkitab dan menangis.
“ Dan kupanggil hanya nama–Mu Tuhanku tuntun hamba–Mu…. Di
sabda – Mu mulia khalik – Mu Tuhanku aku milik- Mu… aku milik- Mu, “
lagu aku milik–Mu dari miliknya Boomerang yang kupasang sebagai nada
dering di handphoneku seperti menyadarkan aku dari lamunanku didepan sel
ini.
“ Hallo “
“ Hallo papa! koq belum pulang? anak – anak udah tunggu nich katanya mau jalan – jalan ke Mall jadi gak?,” suara istriku menyahut dari seberang telepon.
“ Ya …ya …dikit lagi papa udah pulang koq tenang aja ma,” jawabku pelan.
“ Ok dech pa kita tunggu ya mmuuuaaa..,” pangkas istriku menutup pembicaraan.
Kutarik
napas dalam sedalam kerinduanku akan keluargaku yang sedang menunggu
dirumah. Segera kupalingkan wajahku dari sel ini dan kulangkahkan kaki
untuk segera pulang menemui keluargaku. Selalu ada hikmah dibalik setiap
peristiwa dan aku cuma bisa bilang,” Om Rogan jangan menangis !!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar