Selamat Datang By JoeFrigerio

Menu

Animated Buttons - "Pressed Effect"

...

Slideshow

Automatic Slideshow

Change image every 3 seconds:

1 / 3
Bahagia Itu Sederhana
2 / 3
Beriman Itu Sederhana
3 / 3
Hidup Penuh Syukur

Minggu, 16 Oktober 2016

Om Rogan Jangan Menangis

Dari biliknya yang sempit dan gelap, tangannya yang keriput dibuatnya seolah – olah teropong di lubang ventilasi untuk melihat keluar alam bebas. Lalu diarahkannya teropong dari tangannya keatas langit dan memandang langit malam ini yang sungguh terlihat anggun. Tampak bulan purnama dengan pancaran sinarnya seolah memimpin paduan cahaya langit.   Kerlap – kerlip bintang seakan berdansa mengikuti alunan derai angin sepoi yang menyelinap diantara dedaunan yang bersahutan dengan suara kodok serta jangkrik malam.
Dia terus menatapnya hingga begitu dalam sedalam pesona kedamaian yang terpancar di malam ini. Benaknya perlahan terbang ke masa silam seluas angkasa raya yang membentang di pelupuk matanya. Satu per satu kisah silamnya terangkum begitu jelas seperti episode sinetron yang terus berlanjut. Berawal dari masa kecilnya di desa yang dipenuhi dengan gelak tawa ceria bersama teman – temannya saat menyusuri hutan mencari kayu api, saat mandi di kali, saat bersama teman – temannya bakar ubi dan jagung, hingga saat bersama menempuh pendidikan di bangku SD hingga akhirnya ia menamatkan Sekolah Menengah Pertama sebelum melanjutkan pendidikannya di kota .
Berbekal tekad yang kuat dia berhasil menempuh pendidikan SMA-nya di kota dengan prestasi yang cukup membanggakan sebagai seorang anak petani dari desa. Guratan wajah serta senyuman rekan –rekannya di bangku SMA masih terlihat jelas olehnya. Sesekali ia tersenyum saat teringat olehnya kenakalan kecil yang dibuatnya bersama rekan – rekannya di sekolah yang membuat gurunya marah. Dan terlintas wajah seorang gadis polos yang dulu sempat di pacarinya. Wajahnya seketika berubah merah ketika teringat saat harus menamatkan sekolah dan berpisah dengan gadis pujaannya. Saat itulah pertama kali ia menyentuh tangan gadis itu serta merta mencium kening sang gadis. Ia pun menarik napas berat dan dalam.
Matanya tak berkedip seakan terus memacu benaknya untuk terbang meneropong penggalan kisah hidupnya di masa silam. Kerutan di wajahnya tak menghalangi memori otaknya untuk terus berpacu menyajikan kisah tempoe doeloenya…
Teringat olehnya pertama kali duduk di bangku kuliah. Bagaimana dia untuk pertama kalinya meninggalkan bumi Flobamora menuju tanah Jawa demi satu tujuan meraih gelar sarjana. Tampak dia melempar senyum penuh kebanggaan karena tidak semua orang  bisa kuliah dengan gratis tanpa membayar sepeser pun. Itupun di salah satu Universitas Negeri ternama di Negara ini. Maklum, beasiswa sudah menjadi langganan untuknya berkat kecerdasan otaknya. Ia pun tak mampu melupakan gerak – geriknya semasa di bangku kuliah. Bagaimana ia memimpin rekan – rekannya untuk turun kejalan mengangkat setinggi –  tingginya panji kebenaran dan keadilan. Bagaimana ia selalu berteriak dengan lantang membela kaum kecil, bagaimana ia berdiri paling depan dan berteriak paling nyaring untuk sebuah perubahan yang dianggapnya sebagai suatu keharusan, dan masih terus membekas di benaknya bagaimana ia harus berurusan dengan aparat keamanan akibat dari begitu besar dan kuatnya dorongan dalam dirinya untuk selalu peduli pada sesamanya yang ditindas.
Ia pun masih ingat betapa banyaknya buku tentang tokoh – tokoh revolusioner yang dilahap sebagai bahan referensinya. Bahkan ia masih mengingat julukan yang diberikan rekan – rekannya serta dosen kepadanya dengan sebutan “ Macan Revolusi “. Ia terkenal sangat peka terhadap kepentingan rakyat jelata. Saking kritisnya kelima panca inderanya seakan tercipta hanya untuk membela serta menjunjung tinggi kebenaran serta keadilan tanpa harus mundur barang selangkah.
Tiba – tiba wajahnya berubah muram ketika benaknya membawa sepenggal kisah tentang bagaimana ia mulai terlibat masuk bekerja dalam sistem pemerintahan. Seiring berjalannya waktu perlahan julukan “ Macan Revolusi “ yang pernah disematkan padanya berubah menjadi “ Macan Ompong Revolusi “.  Kegarangannya dalam membela kaum proletar perlahan mulai terkikis habis. Apalagi ketika dia telah duduk sebagai stakeholder dalam struktur pemerintahan. Ia tidak lagi buas meneriakkan kebenaran dan keadilan justru sebaliknya ia buas menyantap kue kenikmatan yang diperas dari rakyatnya.
Tangannya gemetar. Ia pun menarik teropong yang tidak lain adalah tangannya sendiri dan segera membalikkan badannya. Airmata tampak menetes di wajahnya. Lalu ia menuju ke dipan tepat di sampingnya. Disitu ia mengambil Alkitab dan memeluknya erat sambil terus menangis. Entah apa yang ia rasakan? Entahlah…
***
Pagi – pagi benar ketika jarum jam dirumahku menunjukkan tepat pukul 06.00  seperti biasanya aku sudah terbangun dan langsung kucari koran pagi didepan rumahku namun tidak kutemukan.
“ Biasanya jam segini sudah diantar sama loper koran tapi koq sampai sekarang belum juga ya?”
“ Mungkin saja anak yang biasa ngantarin koran sedang sakit pak atau anaknya terlambat paling agak siangan korannya juga sudah diantar,”jawab istriku.
Entahlah tak tahu kenapa pagi ini aku begitu resah ingin membaca koran bahkan sebelum beranjak ke kantor sambil menikmati kopi susu serta roti yang dihidangkan oleh istriku. Aku sesekali melihat keluar rumah berharap anak pembawa koran datang menghantarkan koran namun koran pagi langgananku belum juga diantar hingga aku berangkat ke kantor.
Sesampainya di kantor aku melihat rekan kerjaku ramai membicarakan soal eksekusi mati.
“ Kasihan ju Bapa tua su tinggal tunggu hari sa”, begitu kata Vagan temanku.
“ Itu su beta ju kasihan ma mau bilang apa lai Bapa tua salah sendiri dulu pas masa jaya berkuasa tindas orang sana – sini makan uang rakyat, begini su dia pung akibat,” sambung Xaver rekanku.
Langsung saja kurebut koran pagi yang sedang di pegang Xavier.
“ Besong ada omong Bapa tua sapa lai ni?,” tanyaku penasaran.
“ Lu baca sendiri sa itu satu halaman besar ada tulis tu,” jawab Vagan.
“ Beta setuju kalau koruptor dihukum mati kalau dong sonde mampu bayar kembali uang hasil korupsi dua kali lipat ke Negara, biar ko ini Negara bebas dari korupsi,” rekanku Xavier menambahkan.
Aku terus larut mengikuti barisan kata – kata yang tersusun rapi dihalaman harian pagi ini tanpa mempedulikan pembicaraan dua orang temanku lagi.
***
Seperi biasanya sebagai seorang Sipir penjara aku menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Aku melangkah melewati lorong pekat diantara jeruji besi dari sel yang satu ke sel yang lain. Namun tiba- tiba langkahku terhenti begitu sampai di sebuah sel yang tampak tak ada penghuninya. Kulayangkan pandang menyusuri tiap jengkal sel ini kuteringat  satu sosok yang tampak jelas dalam ingatanku 2 tahun silam ketika itu menatap kealam diluar sana dengan teropong dari tangannya sendiri. Ya …sosok yang dulu dipuji sekaligus dicacimaki akibat perbuatannya sendiri. Sosok yang 2 tahun silam memenuhi hampir di semua media massa yang terbit di negeri ini. Om Rogan begitu aku biasa menyapanya. Masih jelas dalam ingatanku guratan wajahnya di malam itu ketika memeluk Alkitab dan menangis.
“ Dan kupanggil hanya nama–Mu Tuhanku tuntun hamba–Mu…. Di sabda – Mu mulia khalik – Mu Tuhanku aku milik- Mu… aku milik- Mu, “ lagu aku milik–Mu dari miliknya Boomerang yang kupasang sebagai nada dering di handphoneku seperti menyadarkan aku dari lamunanku didepan sel ini.
“ Hallo “
“ Hallo papa! koq belum pulang? anak – anak udah tunggu nich katanya mau  jalan – jalan ke Mall jadi gak?,” suara istriku menyahut dari seberang telepon.
“ Ya …ya …dikit lagi papa udah pulang koq tenang aja ma,” jawabku pelan.
“ Ok dech pa kita tunggu ya  mmuuuaaa..,” pangkas istriku menutup pembicaraan.
 Kutarik napas dalam sedalam kerinduanku akan keluargaku yang sedang menunggu dirumah. Segera kupalingkan wajahku dari sel ini dan kulangkahkan kaki untuk segera pulang menemui keluargaku. Selalu ada hikmah dibalik setiap peristiwa dan aku cuma bisa bilang,” Om Rogan jangan menangis !!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar