Ibarat membangun rumah. Ada banyak element yang turut serta saling melengkapi untuk disebut sebagai sebuah rumah. Ada batu, pasir, semen, besi, kayu, bahkan keramik dan cat. (Itu kalau rumah yang lazim alias pada umumnya ya...).
Ketika kayu atau besi yang sedikit terpakai tidak ada, bukan berarti lantas dikesampingkan begitu saja. Demikian pula, misalnya batu atau pasir karena paling banyak diperlukan dalam sebuah rumah lantas semena-mena dan mengatakan bahwa rumah hanya bisa terbangun karena kedua unsur tersebut. Harap diingat batu dan pasir mesti bercampur semen baru bisa terikat dan untuk sebuah rumah mesti diikat dengan anyaman besi agar kokoh berdiri.
Begitu pula ketika kita sepakat untuk bersatu untuk sebuah bangunan bangsa. Setiap element saling mengikat agar tampilan sebuah rumah tidak hanya terlihat indah secara estetika tetapi juga kokoh demi kenyamanan penghuni rumah tersebut.
Alangkah buruknya bila kita membangun rumah dengan mengabaikan satu saja element yang wajib hadir untuk bangunan seperti rumah. Akan terlihat mengganjal dan hampir dipastikan kekokohan serta kenyamanan penghuni rumah pun terganggu karena belum bisa disebut sebuah rumah.
Hal tersebut disadari betul oleh para founding father kita ketika bersepakat untuk membangun bangsa Indonesia. Bangsa yang multi ras, etnis, agama, dan budaya ini bersepakat untuk saling mengikat secara menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Kesepakatan ini mestinya membuat rumah kita bernama Indonesia kokoh dan terlihat indah. Dengan begitu, setiap penghuni rumah merasa memiliki rumah tanpa ada diskriminasi karena di ruang tengah rumah tersebut, anak-anak dari masing-masing kamar berkumpul untuk bersenda gurau tanpa sekat yang mengatasnamakan ruangan masing-masing tetapi sudah bersama menggunakan kesepakatan yang dibuat secara bersama sebagai aturan dari rumah tersebut.
Yang menjadi soal adalah ketika masing-masing anak dari kamarnya mencoba membawa aturan dalam kamar yang bersifat eksklusif untuk diterapkan di ruang tengah tempat semua anak dari semua kamar di rumah berkumpul. Akibatnya jelas, perasaan tercederai dan mematikan api kehangatan inklusif. Ketika ini terjadi, sulit rasanya kita duduk bercengkrama, ngopi bareng, dan menyusun kekuatan bersama sebagai penghuni rumah dalam merengkuh cita-cita menaklukkan dunia.
Kesibukan kita pada akhirnya hanya soal pertentangan serta perdebatan akibat mempersoalkan aturan umum yang sudah disepakati dengan aturan-aturan khusus kamar yang coba ditabrakan dengan aturan umum tersebut. Benturan-benturan dari sesama penghuni rumah pun tak terelakkan karena satu sama lain mulai mencurigai. Keinginan untuk menguasai pun muncul akibat merasa lebih benar dan mendominasi.
Ruang tengah yang seharusnya menjadi tempat seluruh penghuni rumah berkumpul semakin lama malah menghadirkan situasi yang tidak nyaman bagi siapapun. Dinding-dinding ruangan yang dulu memajang potret kebersamaan penuh cinta kini berganti dengan potret-potret aktifitas kamar beserta pribadi-pribadi yang lebih bersifat privat. Masing-masing lebih memilih buru-buru masuk dalam kamarnya masing-masing.
Alhasil, selain rumah kita tak terurus, halaman kita apalagi menjadi semakin tak terawat dengan baik, dan tanpa kita sadari para tetangga kita memiliki rumah yang semakin hari semakin terlihat cantik karena adanya perawatan. Bahkan, boleh jadi tanpa pernah kita sadari, tetangga kita sudah mencaplok sebagian halaman rumah kita disebabkan kita lebih sibuk berdebat sesama saudara satu rumah daripada saling membantu untuk membersihkan sekaligus merawat rumah kita dan menengok lingkungan sekitar kita.
Kita pun terkurung dalam sekat-sekat kamar untuk menyusun strategi bagaimana agar aturan kamar bisa berlaku sebagai aturan rumah dan ketika bertemu, saling menyapa di ruang tengah hanya basa-basi belaka dan menyimpan api dalam sekam akibat pertentangan yang kita buat sendiri.
Jika sudah begini, bisa dibayangkan seperti apa rumah kita jadinya. Selain tampak reot. Sebagaimana rumah yang tak dirawat, lambat laun rumah kita bisa roboh dan luluh lantak akibat ulah kita sendiri penghuni rumah.
Kini, saatnya masing - masing kita melihat rumah kita. Apa yang mesti dibenahi dan diperbaiki. Bukan sibuk membenahi dan memperbaiki kamar - kamar saja. Karena kalau bukan kita sendiri yang membenahi dan memperbaiki. Lantas, siapa yang mesti menjaga dan merawat rumah kita kalau bukan kita sendiri? Adalah kesia-siaan apabila kita menunggu rumah kita hingga nyaris roboh baru kita mulai memperhatikannya. Terlalu mahal harganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar