Timnas Indonesia kembali menemui jalan terjal pada gelaran AFF 2016. Usai meraih hasil seri dengan Azkals Filipina.
Jalan terjal ini, menurut saya salah satu faktor penyebabnya adalah kebekuan taktik sang pelatih, Alfred Riedl.
Dalam sepakbola modern, jamak kita saksikan bahwa suatu tim bermain dengan skema serta taktik yang fleksibel selama 90 menit disesuaikan dengan jalannya laga. Ini yang tidak kita lihat dalam penampilan Timnas Indonesia dalam dua laga penyisihan grup A AFF Suzuki Cup 2016.
Kebekuan skema main jelas terlihat ketika Riedl terus memaksakan 4-4-2 atau 4-4-1-1 yang berubah ketika menyerang menjadi 4-3-3 selama 90 menit apapun kondisi jalannya laga. Sehingga sekalipun kita sudah unggul, keunggulan itu tak dapat dipertahankan.
Padahal kalau ada fleksibilitas taktik dan skema main yang dipersiapkan tentu ketika ada pergantian pemain mestinya diikuti dengan "taktikal change" sesuai tujuan yang ingin diraih oleh sebuah tim dalam pertandingan.
Katakanlah kalau ingin mempertahankan keunggulan, misalnya. Mestinya, ketika Lebry ditarik keluar diganti dengan pemain bertahan seperti Manahati atau Gunawan Dwi Cahyo sekaligus perubahan skema main menjadi 5-4-1. Keberadaan 3 sentral bek jelas membuat lini pertahanan akan semakin kokoh dalam menutupi celah serta menghalau serangan lawan.
Begitu pula ketika Andik ditarik keluar mestinya diganti dengan Bayu Pradana atau Dedy Gusnawan guna menambah kekuatan lini tengah sebagai lini pertama yang memfilter serangan lawan dengan menguasai lini tersebut.
Dengan begitu ketika memegang bola kita bisa mainkan skema 3-5-2 dengan satu orang false nine entah Evan atau Lilipaly. Atau mainkan 3-3-3-1 dengan taktik sayap palsu yang pada intinya ingin menguasai lini tengah dengan tujuan mendelay permainan dengan memainkan Ball Possesion karena unggul jumlah pemain di lini tengah sembari melihat kemungkinan menambah gol kemenangan. Tapi itu tidak dilakukan.
Dengan materi pemain seperti saat ini, saya melihat Timnas tidak menampilkan potensi permainan yang sebenarnya bisa dilakukan.
Entahlah apa yang ada dalam benak Riedl dan persoalan sebenarnya yang terjadi di Timnas Indonesia karena yang dikembangkan dalam permainan Indonesia justru hanya pressing individu tanpa adanya pressing secara tim ketika kehilangan bola. Sudah begitu, pemain seperti terburu-buru saat bertahan dan juga menyerang.
Tidak ada kepercayaan diri untuk memainkan aliran bola dengan lebih skematis juga tampak dalam pola bermain Timnas yang terkesan sporadis.
Singkatnya, Timnas kita tidak bermain Bhineka Tunggal Ika yakni dengan beragam variasi tetapi satu tujuan yakni kemenangan.
Alhasil, kalau ditanya sanggupkah Indonesia mengalahkan Singapore dan melangkah ke babak semifinal? Saya koq pesimis ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar