Untuk
mengejar ketertinggalan tentu kita mesti meningkatkan kecepatan agar dapat
menyusul. Tanpa kecepatan super, mustahil untuk menyusul ketertinggalan apalagi
melampaui. Itu sudah hukumnya. Karena itu, ketika tertinggal biasanya kita
disuruh bersegera dengan cepat agar bisa menyusul dan menyamakan langkah. Tapi
kalau dalam perlombaan, biasanya kita tidak hanya diminta menyusul tapi mesti
mendahului dengan kecepatan super tadi.
Hal
tersebut disadari betul oleh Presiden Jokowi sehingga bergerak cepat dan
memilih orang-orang yang mau bergerak cepat membantunya membawa kereta
Indonesia melintas dengan cepat untuk menyusul kereta di depan bila perlu
melampauinya.
Visi
mengejar ketertinggalan ini kebetulan sejalan dengan Ahok yang juga bergerak
super cepat dan memilih orang yang mau bergerak secepat dirinya agar dapat
segera menyusul ketertinggalan. Juga banyak pemimpin lain yang menyadari bahwa
perlu kecepatan super untuk bergerak cepat mengejar ketertinggalan. Tidak
heran, komposisi orang-orang yang dipilih untuk menjalankan kereta merupakan
orang-orang yang siap menjalankan kecepatan super tersebut, bila tidak maka tak
terpakai.
Itulah
sebabnya, kecepatan kedua orang ini diikuti oleh para pembantu mereka dalam hal
ini para menteri juga para Kadis hingga struktur terbawa tentu akan memakan
korban. Korbannya, siapa lagi kalau bukan orang-orang yang tak ingin satu
gerbong dan tak mau bergerak dengan tempo yang sama. Apalagi bagi mereka yang
setia dengan tempo lawas pelan mendayu-dayu. Sudah pasti mereka tertinggal dan
dilupakan.
Di
kala rata-rata orang Indonesia bergerak dengan kecepatan 60 Km/jam misalnya,
kedua orang ini sudah memacu kecepatan 120 Km/jam bahkan lebih. Karena
perbedaan kecepatan tersebut, orang-orang yang sudah terbiasa dalam gerbong
dengan goncangan 60 km/jam akhirnya merasa tidak nyaman. Ada yang muntah-muntah,
pusing, dan tidak enak badan bahkan terpeleset, terpental, dan terjatuh saking
cepatnya. Ketidaknyamanan inilah yang akhirnya memicu gelombang protes untuk
mengembalikan kepada kecepatan semula agar mereka kembali kedalam comfort zone-nya.
Sayangnya,
hal ini tidak bisa diakomodir sang masinis karena bila diakomodir keinginan
untuk kembali ke kecepatan semula, sama saja dengan tidak mengejar
ketertinggalan tetapi justru akan semakin jauh tertinggal. Satu-satunya jalan
keluar adalah tetap mempertahankan kecepatan atau bahkan menambah kecepatan sekaligus
mengajak para penghuni gerbong untuk menyesuaikan diri ikut bergerak cepat agar
nyaman dengan goncangan kecepatan gerbong yang baru sehingga kondisi
muntah-muntah, kepala pusing, dan tidak enak badan segera lenyap lalu sudah
bisa mulai menikmati kecepatan goncangan terkini sehingga tidak lagi
terpeleset, tejatuh, ataupun terpental keluar gerbong.
Penyesuaian
tentu bukanlah hal mudah, membutuhkan waktu. Namun butuh waktu bukan berarti
memaksa masinis untuk menurunkan kecepatan. Karena itu, sama saja dengan tidak
melatih tubuh untuk menyesuaikan diri dengan kecepatan terbaru. Butuh waktu juga bukan berarti memaksa masinis
untuk memberhentikan kereta di tengah jalan lantas mengganti masinis yang dapat
diatur bergerak dengan kecepatan sesuai keinginan. Butuh waktu disini adalah
melakukan penyesuaian dengan irama goncangan kecepatan gerbong secara perlahan-lahan
sehingga tidak terpental dan terjatuh dari gerbong dan akhirnya tubuh pun tidak
lagi muntah-muntah, pusing, serta tidak enak badan bahkan merasa bahwa perlu
menambah kecepatan saking bugarnya tubuh karena sehat.
Pangkal
masalah perbedaan kecepatan inilah yang menurut saya mengakibatkan banyak
penumpang dalam gerbong terlihat melakukan berbagai hal konyol. Dan hal paling
konyol yang terjadi adalah mempengaruhi penumpang lain dalam gerbong untuk
menyalahkan kecepatan kereta, sementara di sisi lain berusaha mempengaruhi
penumpang lain untuk mendukung sesama penumpang yang maju dan ingin menjadi
masinis dengan menjual dan meniru kecepatan serupa bila menjadi masinis.
Akh…bicara
kereta dan kecepatannya. Saking cepatnya, saya tiba-tiba jadi teringat lagunya Ello
– Keretamu. Mending ambil gitar jreng…jreng…yuk kita nyanyi bareng ya…”kereta itu
membawa hatiku…kereta itu membawa hidupku….perlahan senja menenggelamkan
seluruh hidupku.”
Ups…nyanyinya pakai hati biar menghayati dan jangan
terlalu lambat nyanyinya sesuaikan dengan tempo yang dimainkan agar terdengar merdu dan harmonis. Khan kasihan lagu yang bagus dinyanyikan dengan cara yang gak bagus. Tul gak??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar