Nista. kata dasar ini memiliki makna hina, rendah, tidak enak didengar, aib, cela, dan noda. Sedangkan penistaan berarti cercaan, makian, perbuatan (perkataan dsbnya) untuk menista. Ini kesepakatan kita bersama dalam bahasa Indonesia dan tercantum dalam KBBI.
Kini, seperti yang kita ketahui bersama, Ahok dituduh telah menistakan agama dan karena itu Ahok mesti ditetapkan menjadi tersangka dan dipenjarakan. Begitu tuntutan yang keras terdengar.
Well, baiklah kalau begitu. Jika memang terbukti silahkan diproses sesuai aturan yang berlaku. Tapi sebelum Ahok diproses hukum oleh negara dan ditetapkan sebagai tersangka dan dihukum penjara. Mungkin ada baiknya puluhan bahkan ratusan orang yang kini mendemo-nya mesti terlebih dahulu dipenjarakan juga oleh negara.
Koq bisa? Ya...karena jauh sebelum dituduh menistakan agama. Ahok, sebenarnya telah mengalami penistaan luar biasa. Dengan mengatakan jangan memilih pemimpin kafir (Ahok) bukankah sebenarnya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini sudah menistakan agama lain, dalam hal ini Kristen dengan penyebutan kafir??
Kalau kita sama-sama bersepakat dan mengakui bahwa negara ini adalah negara hukum serta setiap warga negara wajib mematuhi dan mentaati hukum, maka hal yang menyangkut penistaan terhadap agama mesti ditempatkan pada porsi dan kedudukan yang sama dihadapan negara, dalam hal ini di mata hukum. Sehingga semua warga negara berkedudukan sama di mata hukum. Dengan demikian, tidak ada yang kebal hukum dan negara pun tidak harus takluk dari seseorang atau sekelompok orang/golongan tertentu. Hukum mestinya tidak pandang bulu. Entah bulu panjang, pendek, keriting, ataupun lurus.
Ini yang mesti kita terangi sekaligus luruskan secara bersama tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Penting agar warga negara pun menjadi taat hukum dan tidak semena-mena terhadap negara. Penting untuk menjaga kewibawaan negara dan kehadiran negara mestinya menjamin adanya kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Dengan demikian, diharapkan pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dengan berdasar kepada :Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kalau saja negara dapat melakukannya, niscaya warga negara akhirnya bisa hidup dengan aman, damai, harmonis, dan nyaman. Sayang, kesan pembiaran dan perlakuan yang berbeda membuat masyarakat Indonesia akhirnya lebih menghabiskan energy pada hal-hal yang justru merugikan kita sendiri sebagai suatu bangsa. Toh, energy kita sering tersedot pada hal - hal yang secara substansial tidak mencerminkan semangat kemerdekaan yang begitu gigih diperjuangkan oleh para pendahulu kita.
Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa selama 71 tahun kita hidup bersama tak menjamin kita semakin mesra dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Prihatin saja tidak cukup rasanya untuk menjelaskan kenapa kita masih terjebak dalam lubang yang sungguh nista. Pertanyaannya, sampai kapan kita terus begini??
bulu kriting e....hahahah
BalasHapusLu punya ko? Sungguh nista kawan.
Hapus