Selamat Datang By JoeFrigerio

Menu

Animated Buttons - "Pressed Effect"

...

Slideshow

Automatic Slideshow

Change image every 3 seconds:

1 / 3
Bahagia Itu Sederhana
2 / 3
Beriman Itu Sederhana
3 / 3
Hidup Penuh Syukur

Senin, 30 Mei 2016

Kebiri Apakah Benar Solusi?

Rentetan kasus demi kasus yang terjadi dan menghebohkan publik akhir - akhir ini terkait kebiadaban anak manusia menyangkut sex merupakan hal yang mesti ditanggapi serius. Miris memang terutama bila pelakunya merupakan anak dibawah umur. Lebih sedih lagi bila yang menjadi korban adalah anak-anak yang diperdayai oleh orang tua yang semestinya menjaga mereka.
Tak heran bila ramai-ramai bersuara nyaring melantunkan tembang keterkejutan dengan syair kutukan terhadap pelaku dan perbuatan yang sedemikian parahnya.
Maklum, sex di zaman ini tidak lagi dianggap sebagai sebuah perbuatan luhur dari cinta dua orang dewasa tetapi lebih kepada pemuasan napsu segala umur.
Ini tentu masalah yang harus segera dipikirkan secara serius sehingga dapat mengatasi masalah tersebut tanpa masalah.
Ide kebiri kimiawi terhadap pelaku sehingga napsu sexnya perlahan-lahan menurun dan menghilang dimunculkan sebagai sebuah tindakan hukum yang sekiranya dapat meminimalisir kejadian-kejadian di luar akal sehat tersebut.
Saya sepakat bahwa meningkatnya jumlah kekerasan yang berujung pada keselamatan jiwa anak menjadi salah satu alasan presiden menerbitkan Perppu Kebiri.
Seperti yang ramai diberitakan, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Meningkatnya jumlah kekerasan yang berujung pada keselamatan jiwa anak menjadi salah satu alasan presiden menerbitkan Perppu. Lalu, apa saja materi pokok yang ada dalam aturan yang dikenal dengan sebutan Perppu Kebiri itu?
Laman Setkab, Kamis (26/5) menjelaskan materi-materi pokok yang terdapat dalam Perppu Kebiri. Perubahan yang dilakukan dalam Perppu ini adalah Pasal 81 UU No.23 Tahun 2002, sehingga berbunyi:
1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D (setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain;
3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
4. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D;
5. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;
6. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;
7. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik;
8. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;
9. Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Selain itu, di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:
1. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) (dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok;
2. Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan;
3. Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi;
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selain itu ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E (setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); 2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1); 3. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E; 4. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1); 5. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku; 6. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik; 7. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan; 8. Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Di antara Pasal 82 dan Pasal 83, menurut Perppu itu, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut: 1. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) (dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok; 2. Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan; 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perppu No.1 Tahun 2016 itu mulai berlaku pada tanggal diundangkan, sesuai bunyi Pasal II Perppu itu diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada tanggal 25 Mei 2016 itu.
Baik juga sich menurut saya namun pertanyaannya dengan kebiri kimiawi terhadap para pelaku, apakah ada jaminan pelaku tidak berbuat lagi?? Hanya karena napsu sexnya telah direnggut?
Katakanlah si pelaku adalah seorang psikopat dan dihukum karena melakukan sadisme sex dan dihukum kebiri. Ok! napsu sexnya sudah tak ada lagi karena dikebiri secara kimiawi tetapi bagaimana dengan kepribadian ganda orang tersebut? Bukankah fantasi menghancurkan dan sadisme sex masih dimilikinya? Boleh jadi kemaluannya tidak lagi dipakai untuk memuaskan napsu sexnya karena memang sudah direnggut tetapi fantasi akan perbuatan sadis termasuk sex sadis tanpa menggunakan kemaluannya mungkin masih tumbuh subur dalam diri seorang psikopat.
Ini berarti, ide kebiri bagi pelaku pemerkosaan mesti dikaji lebih jauh sebelum dieksekusi sebagai sebuah langkah untuk meminimalisir perbuatan biadab tersebut. Jangan sampai kita terlalu panik dan emosional dalam mengambil sebuah keputusan yang justru hanya seperti pemadam kebakaran yang mematikan api bukan mencegah sumber api. Jangan sampai kita terjebak dan tak mampu mengeliminir sejak awal sehingga tidak mampu mencegah terjadi lagi kebakaran.
Untuk kasus ini jangan sampai kita mengatasi masalah dan menimbulkan masalah baru.
Kenapa saya bilang begitu? Karena bila kebiri menjadi aturan maka bisa saja berimplikasi jauh. Sebagai contoh dua orang yang berhubungan atas dasar cinta. Namun seiring waktu, perjalanan cinta itu harus berakhir karena berbagai alasan. Lantas, sang perempuan dan keluarga melapor ke pihak berwajib bahwa si pria melakukan pemerkosaan. Padahal apa yang dilakukan berdasarkan suka sama suka. Bukankah itu berarti kita telah memberangus seseorang dengan sengaja hanya karena kelalaian kita sendiri??
Apalagi usia 17 tahun masih dikategorikan anak, padahal secara faktual remaja - remaja Indonesia berusia seperti ini justru telah melakukan banyak perbuatan orang dewasa dan di banyak daerah ada budaya kawin muda sebelum menjadi perawan tua. Ini tentu rentan dengan tuntutan mengkebiri seperti yang saya contohkan diatas.
Kalau dipikir-pikir sebenarnya kejadian menyeramkan seperti yang sudah terjadi lebih disebabkan karena peran orang tua yang telah dikebiri karena tuntutan hidup yang sedemikian ketatnya sehingga waktu bersama keluarga kini menjadi sangat minim. Akibatnya, nilai-nilai yang seharusnya tertanam dan mengakar dalam diri justru dikebiri oleh karena kualitas pertemuan dalam keluarga yang dewasa ini telah mengalami degradasi yang luar biasa.
Sampai pada titik ini, saya jadi berpikir, bagaimana bila kita merubah aturan jam kerja sehari 6 jam atau 7 jam saja. Dengan harapan, orang tua dan anak bisa memiliki interaksi yang cukup di rumah sebagai sebuah keluarga yang merupakan pondasi sebuah bangsa. Sehingga tidak ada suntikan kebiri tetapi suntikan nilai-nilai yang mesti diusung sebagai pegangan dalam pergaulan.

3 komentar:

  1. Saya lebih setuju dengan pendidikan keluarga dan terutama pendidikan agama yang berfokus mengenai masalah seks ini, pendidikan yang tertanam dengan baik di diri seseorang tidak akan mudah di goyahkan apalagi dengan godaan jaman dan lingkungan yang semakin buruk ini.

    BalasHapus
  2. Saya lebih setuju dengan pendidikan keluarga dan terutama pendidikan agama yang berfokus mengenai masalah seks ini, pendidikan yang tertanam dengan baik di diri seseorang tidak akan mudah di goyahkan apalagi dengan godaan jaman dan lingkungan yang semakin buruk ini.

    BalasHapus
  3. Sip. Benar sekali pendidikan dalam keluarga sangat menentukan. Tapi di zaman ini ketika orang tua sibuk mencari uang kadang nilai-nilai yang mestinya tertanam dalam diri anak kian tergusur oleh segala jenis perkembangan teknologi yang mempengaruhi pergaulan yang sedemikian bebasnya

    BalasHapus