Rerumputan kering coklat kehitaman bersanding mesra bersama timbunan karang di sudut tanah nan tandus, gersang dan tak terjamah. Di kota ini kuawali sebuah perjalanan untuk melukis cahaya sisi kelam masa silam yang tersembunyi bertajuk lorong-lorong sejarah. Bibir pantai putih yang terhampar dengan biru laut di kejauhan menebalkan keyakinanku bahwa aku tak salah jika harus berburu di sini. Ya, di kota ini kuyakin menyimpan sejuta peristiwa yang masih terselubung di balik dinding-dinding karang serta rerumputan liar. Dan bisa kurasakan itu sejak pertama kali kujejakkan kaki di sini. Di depan teluk nan permai, di atas bukit karang yang curam.
Langit biru tersenyum cerah di penghujung November.
Tak ada mendung apalagi hujan. Hembusan angin pelan cukup membantuku untuk merasakan sedikit kesejukan walaupun gerah sejujurnya masih lebiih mendominasi hingga kucuran keringat membasahi seluruh tubuhku. Kusiapkan perbekalan berburuku. Tak lupa kubaca sedikit referensi tentang tempat yang akan kukunjungi. Tak banyak memang namun cukup membantu. Setidaknya, ada sedikit gambaran sebelum menjelajahinya.
Bermodalkan perbekalan seadanya aku mulai petulanganku. Awalnya, aku sempat terperanjat ketika kulihat tempat perburuanku ini. tak ada kesan yang menggoda. “Sungguh sebuah pemandangan ironis mengingat di tempat ini, dulu kota ini pernah diperebutkan. Bahkan tak sedikit darah dan nyawa telah dikorbankan demi merebut tanah ini,” batinku. Kini puluhan tahun setelah tanah ini terabaikan seenaknya. Tak ada yang menggubris apalagi memberi perhatian pada kawasan nan eksotis ini. pesona kawasan ini seolah lenyap tanpa jejak bagai debu yang terkibas. Tapi kata hatiku mengatakan aku harus tetap menelusurinya.
Terik mentari yang menyengat membuat langkahku terasa berat untuk sekedar menyusuri tempat bersejarah ini. Deretan pohon tuak tampak malu-malu tersapu desiran angin. Botol air mineral yang menjadi perbekalanku tersisa setengah sementara perjalanan untuk mengeksploitasi tempat ini masih panjang sepanjang kisah yang pernah terukir di sini. Satu per satu bunker kudatangi dan kuabadikan dengan kamera sederhanaku sembari sesekali kuseka keringat yang terus mengalir deras. Benakku coba membayangkan tentang apa yang terjadi di tempat ini. Tentang sebuah mahakarya perang yang pernah dipentaskan di sini. Tentang dahsyatnya pertempuran di sini. Kulemparkan tanya pada rerumputan, batu karang, serta bunker-bunker tua di sini tentang mahakarya perang seperti apa yang telah dipentaskan. Apa daya angin sepoi-sepoi membawa pergi pertanyaanku entah ke mana?? Hmmm.. aku terus mengamati satu per satu yang tersisa di sini. Sungguh tanah ini telah menjadi saksi bisu perebutan kekuasaan. Berseteru untuk berseru sebagai penjajah paling tangguh!! Uuuuuhhhhhhh…
Tanpa mengenal lelah, aku terus menjejaki tempat ini melewati semak belukar yang menutupi bunker-bunker tua hingga sampai pada sebuah bunker yang lebih besar dari ukuran bunker-bunker yang kutemui sebelumnya. Rasa penasaran yang bergemuruh di dalam dada membuatku tak kuasa untuk segera masuk ke dalam bunker ini sekedar merasakan sensasi seni perang. “Siapa tau saja aku bisa memperoleh sesuatu yang dapat membuatku menjadi fotografer handal sekaligus penemu sejarah yang menggemparkan,” harapku.
Rupa dari bunker ini tak beda dengan yang telah kutemui sebelumnya selain tentu saja ukurannya yang lebih besar. Perlahan kumasuki bunker dengan berhati-hati. Ketika aku berada di dalam bunker kurasakan ada sesuatu getaran aneh yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku. Getaran itu terasa semakin membawaku ke dalam sebuah pusaran. Serentak kudengar dentuman meriam bertaut dengan desiran mesiu di sekelilingku. Aku pun secara tiba-tiba dapat melihat langkah kaki para serdadu yang terus memberondongkan senjata. Deru mesin pesawat tempur menambah bising suasana ini. aku seperti seorang serdadu yang ikut dalam pementasan perang. Dan aaarrggghhhhhhh… sebuah peluru tepat melesat di lenganku. Kuterjatuh tersungkur tak berdaya. Dengan sisa tenaga ku mencoba bangkit untuk keluar dari bunker ini. Dan kembali tubuh ini bergetar hebat seolah menyentuh voltage 1000 watt.
Aku segera bergegas secepat kilat melangkah menjauh dari bunker tua ini dengan kebingungan. Belum sepenuhnya paham akan apa yang baru saja kurasakan. Kucoba menyentuh dan melihat lengan kananku yang tadi tertembak namun betapa terkejutnya diriku karena kini tak ada darah ataupun bekas luka. Dan oh suasana perang yang kurasakan seketika sirna begitu saja. Sunyi dan tak terjamah seperti sebelumnya. Entahlah apa yang baru saja kurasakan namun satu yang pasti tempat ini sedikit banyak telah menjawab segala pertanyaanku tentang apa yang telah terjadi di sini.
Kuraih kameraku untuk segera membidik obyek menarik di sekitarku berharap menemukan gambaran seperti yang kutemui ketika berada di dalam bunker tua. Kutarik napas panjang lalu kusulut rokok. Belum sempat kuberanjak dari tempat ini tiba-tiba suara keras tepat di depanku praaaak… napasku seperti terlepas sejenak. Jantungku seolah dicabut secara tiba-tiba. Uuuuuhhhhhh.. rupanya sebuah ranting pohon jatuh tepat di depanku. Belum sempat kumenghela napas panjang tiba-tiba srrreekk.. akh. Nyaris saja aku lari terbirit-birit.
Seorang nenek tua menyapaku, “Anak sedang cari apa di sini??” katanya dengan suara serak. Dengan terbata-bata aku menjawab sedikit ketakutan.
“Oh, saya hanya jalan-jalan melihat pemandangan dan bunker-bunker ini, Nek,” jawabku sekenanya. “Lalu nenek sedang buat apa di sini?” tanyaku berbasa-basi sambil mengambil ancang-ancang langkah seribu.
“Saya rumah di dekat sini dan sering lewat sini untuk mengembalakan kambing piaraanku mencari rumput di sana,” jawab nenek itu sambil menunjukkan jarinya.
Belum sempat kumelanjutkan pembicaraan untuk pamit, nenek itu melanjutkannya, “Di sini dulu telah terjadi perang hebat, waktu itu saya masih sangat kecil kira-kira berusia 4 tahun. Kami diungsikan ke sana sambil menunjuk bukit di atas sana,” katanya meyakinkan.
“Tapi tempat ini kini sama sekali tak dianggap dan jarang orang muda sepertimu mau menghampirinya.” Lalu berlalu dari hadapanku begitu saja.
Lembayung senja memancarkan kilaunya di ufuk barat. Aku pun bergegas meninggalkan tempat ini kembali ke tempat penginapanku untuk melihat hasil perburuanku melalui kamera yang disambungkan ke laptop. Suara debur ombak mencumbu mesra bibir pantai terdengar seperti nyanyian mars kemenangna setelah perang. Aura kota ini menunjukkan padaku bahwa ada sesuatu yang salah dalam perkembangannya. Aku pun teringat akan pesan sang proklamator Bung Karno “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!!” Ya… kota ini telah mengabaikan sejarah dengan menelantarkan puing-puing sejarah. Kota eksotis ini lebih mementingkan bagaimana merusak kawasan pantai dengan dalih investor daripada mengembangkan dan mengelola tempat bersejarah untuk mendatangkan keuntungan. “Ah… andai saja aku seorang walikota,” gumamku. Sayang, aku hanyalah seorang penggila fotografi dengan bunker-bunker tua koleksiku. Kuraih kamera andalanku membidik melalui lensa lalu kuarahkan ke bukit bersejarah itu dengan sejuta pertanyaan yang mengganjal di hatiku tentang bunker tua yang masih tersisa; akankah tetap terjaga??
Langit biru tersenyum cerah di penghujung November.
Tak ada mendung apalagi hujan. Hembusan angin pelan cukup membantuku untuk merasakan sedikit kesejukan walaupun gerah sejujurnya masih lebiih mendominasi hingga kucuran keringat membasahi seluruh tubuhku. Kusiapkan perbekalan berburuku. Tak lupa kubaca sedikit referensi tentang tempat yang akan kukunjungi. Tak banyak memang namun cukup membantu. Setidaknya, ada sedikit gambaran sebelum menjelajahinya.
Bermodalkan perbekalan seadanya aku mulai petulanganku. Awalnya, aku sempat terperanjat ketika kulihat tempat perburuanku ini. tak ada kesan yang menggoda. “Sungguh sebuah pemandangan ironis mengingat di tempat ini, dulu kota ini pernah diperebutkan. Bahkan tak sedikit darah dan nyawa telah dikorbankan demi merebut tanah ini,” batinku. Kini puluhan tahun setelah tanah ini terabaikan seenaknya. Tak ada yang menggubris apalagi memberi perhatian pada kawasan nan eksotis ini. pesona kawasan ini seolah lenyap tanpa jejak bagai debu yang terkibas. Tapi kata hatiku mengatakan aku harus tetap menelusurinya.
Terik mentari yang menyengat membuat langkahku terasa berat untuk sekedar menyusuri tempat bersejarah ini. Deretan pohon tuak tampak malu-malu tersapu desiran angin. Botol air mineral yang menjadi perbekalanku tersisa setengah sementara perjalanan untuk mengeksploitasi tempat ini masih panjang sepanjang kisah yang pernah terukir di sini. Satu per satu bunker kudatangi dan kuabadikan dengan kamera sederhanaku sembari sesekali kuseka keringat yang terus mengalir deras. Benakku coba membayangkan tentang apa yang terjadi di tempat ini. Tentang sebuah mahakarya perang yang pernah dipentaskan di sini. Tentang dahsyatnya pertempuran di sini. Kulemparkan tanya pada rerumputan, batu karang, serta bunker-bunker tua di sini tentang mahakarya perang seperti apa yang telah dipentaskan. Apa daya angin sepoi-sepoi membawa pergi pertanyaanku entah ke mana?? Hmmm.. aku terus mengamati satu per satu yang tersisa di sini. Sungguh tanah ini telah menjadi saksi bisu perebutan kekuasaan. Berseteru untuk berseru sebagai penjajah paling tangguh!! Uuuuuhhhhhhh…
Tanpa mengenal lelah, aku terus menjejaki tempat ini melewati semak belukar yang menutupi bunker-bunker tua hingga sampai pada sebuah bunker yang lebih besar dari ukuran bunker-bunker yang kutemui sebelumnya. Rasa penasaran yang bergemuruh di dalam dada membuatku tak kuasa untuk segera masuk ke dalam bunker ini sekedar merasakan sensasi seni perang. “Siapa tau saja aku bisa memperoleh sesuatu yang dapat membuatku menjadi fotografer handal sekaligus penemu sejarah yang menggemparkan,” harapku.
Rupa dari bunker ini tak beda dengan yang telah kutemui sebelumnya selain tentu saja ukurannya yang lebih besar. Perlahan kumasuki bunker dengan berhati-hati. Ketika aku berada di dalam bunker kurasakan ada sesuatu getaran aneh yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku. Getaran itu terasa semakin membawaku ke dalam sebuah pusaran. Serentak kudengar dentuman meriam bertaut dengan desiran mesiu di sekelilingku. Aku pun secara tiba-tiba dapat melihat langkah kaki para serdadu yang terus memberondongkan senjata. Deru mesin pesawat tempur menambah bising suasana ini. aku seperti seorang serdadu yang ikut dalam pementasan perang. Dan aaarrggghhhhhhh… sebuah peluru tepat melesat di lenganku. Kuterjatuh tersungkur tak berdaya. Dengan sisa tenaga ku mencoba bangkit untuk keluar dari bunker ini. Dan kembali tubuh ini bergetar hebat seolah menyentuh voltage 1000 watt.
Aku segera bergegas secepat kilat melangkah menjauh dari bunker tua ini dengan kebingungan. Belum sepenuhnya paham akan apa yang baru saja kurasakan. Kucoba menyentuh dan melihat lengan kananku yang tadi tertembak namun betapa terkejutnya diriku karena kini tak ada darah ataupun bekas luka. Dan oh suasana perang yang kurasakan seketika sirna begitu saja. Sunyi dan tak terjamah seperti sebelumnya. Entahlah apa yang baru saja kurasakan namun satu yang pasti tempat ini sedikit banyak telah menjawab segala pertanyaanku tentang apa yang telah terjadi di sini.
Kuraih kameraku untuk segera membidik obyek menarik di sekitarku berharap menemukan gambaran seperti yang kutemui ketika berada di dalam bunker tua. Kutarik napas panjang lalu kusulut rokok. Belum sempat kuberanjak dari tempat ini tiba-tiba suara keras tepat di depanku praaaak… napasku seperti terlepas sejenak. Jantungku seolah dicabut secara tiba-tiba. Uuuuuhhhhhh.. rupanya sebuah ranting pohon jatuh tepat di depanku. Belum sempat kumenghela napas panjang tiba-tiba srrreekk.. akh. Nyaris saja aku lari terbirit-birit.
Seorang nenek tua menyapaku, “Anak sedang cari apa di sini??” katanya dengan suara serak. Dengan terbata-bata aku menjawab sedikit ketakutan.
“Oh, saya hanya jalan-jalan melihat pemandangan dan bunker-bunker ini, Nek,” jawabku sekenanya. “Lalu nenek sedang buat apa di sini?” tanyaku berbasa-basi sambil mengambil ancang-ancang langkah seribu.
“Saya rumah di dekat sini dan sering lewat sini untuk mengembalakan kambing piaraanku mencari rumput di sana,” jawab nenek itu sambil menunjukkan jarinya.
Belum sempat kumelanjutkan pembicaraan untuk pamit, nenek itu melanjutkannya, “Di sini dulu telah terjadi perang hebat, waktu itu saya masih sangat kecil kira-kira berusia 4 tahun. Kami diungsikan ke sana sambil menunjuk bukit di atas sana,” katanya meyakinkan.
“Tapi tempat ini kini sama sekali tak dianggap dan jarang orang muda sepertimu mau menghampirinya.” Lalu berlalu dari hadapanku begitu saja.
* * *
Lembayung senja memancarkan kilaunya di ufuk barat. Aku pun bergegas meninggalkan tempat ini kembali ke tempat penginapanku untuk melihat hasil perburuanku melalui kamera yang disambungkan ke laptop. Suara debur ombak mencumbu mesra bibir pantai terdengar seperti nyanyian mars kemenangna setelah perang. Aura kota ini menunjukkan padaku bahwa ada sesuatu yang salah dalam perkembangannya. Aku pun teringat akan pesan sang proklamator Bung Karno “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!!” Ya… kota ini telah mengabaikan sejarah dengan menelantarkan puing-puing sejarah. Kota eksotis ini lebih mementingkan bagaimana merusak kawasan pantai dengan dalih investor daripada mengembangkan dan mengelola tempat bersejarah untuk mendatangkan keuntungan. “Ah… andai saja aku seorang walikota,” gumamku. Sayang, aku hanyalah seorang penggila fotografi dengan bunker-bunker tua koleksiku. Kuraih kamera andalanku membidik melalui lensa lalu kuarahkan ke bukit bersejarah itu dengan sejuta pertanyaan yang mengganjal di hatiku tentang bunker tua yang masih tersisa; akankah tetap terjaga??
nice story bung......
BalasHapus>>>bungker or bunker ?
Terima kasih atas atensinya
Hapus