Selamat Datang By JoeFrigerio

Menu

Animated Buttons - "Pressed Effect"

...

Slideshow

Automatic Slideshow

Change image every 3 seconds:

1 / 3
Bahagia Itu Sederhana
2 / 3
Beriman Itu Sederhana
3 / 3
Hidup Penuh Syukur

Senin, 17 Oktober 2016

Cerpen PESTA YANG TERTUNDA



Menanti simfony sebuah malam saat senja kian temaram. Kilau bintang janganlah padam, harap mereka. Banyak orang mulai berkumpul dan bercakap-cakap tentang pesta malam ini. Satu ekor Babi yang tersisa di kandang telah dikorbankan sang pemilik rumah untuk merayakan pesta yang sebentar lagi akan digelar. Berbagai persiapan sudah matang yang langsung dikoordinir oleh sang pemilik rumah yang tidak lain adalah Ketua RT sekaligus tokoh yang dituakan di tempat ini.

Di dalam ruangan yang cukup luas, semua berkumpul untuk bersiap-siap menggelar pesta. Sang pemilik rumah duduk paling depan dengan penuh senyum seakan percaya bahwa malam ini merupakan malam gembira untuk warganya. Saat yang dinanti pun tiba. Mereka larut dalam satu keyakinan pesta ini milik kita!!

Tampak sang pemilik rumah duduk bersandar pada sebuah kursi. Kopi diseruputnya pelan-pelan. Kepulan asap rokok keluar dari mulutnya memenuhi seisi ruangan layaknya cerobong asap pabrik semen.  Dadanya bergetar hebat. Napasnya turun naik tak beraturan. Suaranya menggelegar memecah kesunyian malam. Kegaduhan malam ini menambah semarak suasana hingar bingar disini.  Sesekali ia berdiri meninju langit – langit kosong kemudian kembali duduk seperti pose semula dengan wajah cemas. Terkadang matanya melirik jarum jam yang berdetak menanti detik demi detik yang diinginkannya. Sorot matanya tajam kedepan tak berkedip barang sedetikpun seolah tak ingin terlewatkan setiap moment malam ini. Ia masih menanti sesuatu terjadi. Tampak pula sekumpulan pemuda yang duduk tidak jauh darinya ikut larut dalam derap irama yang sama mengikuti setiap gerakan dan teriakan membahana ke angkasa laksana doa dan harap untuk Sang Khalik.

Sayang detik impian itu tak kunjung menghampiri mereka. Waktu tanpa terasa menunjukkan pukul 11.00 malam. Bulan Purnama yang sedari tadi menemani kini tak terlihat lagi berganti rintik-rintik hujan. Wajah mereka mulai menampakkan keresahan diujung waktu untuk sebuah penantian panjang. Dan tibalah waktunya ketika detik istimewa yang didambakan tak kunjung menghampiri mereka. Yang mereka dapatkan justru detik yang tak melegakan hati, detik yang melukai hati bagaikan ditikam belati tajam. Mereka semua terdiam. Seketika suasana rumah berubah menjadi senyap seperti tak berpenghuni.  Sorak - sorai dan gegap gempita hilang bagai di telan bumi. Mereka tak mampu lagi untuk sekedar bersuara. Masing-masing dengan pikirannya, tertunduk lesu. Detik yang datang tak seindah yang diharapkan. Mereka seperti tak percaya atas kenyataan yang terhampar didepan mata.       

Pak tua sang pemilik rumah lantas bangun dari posisi duduknya bergegas masuk kamar tanpa pamit. Matanya sembab menahan tangis. Makanan yang telah disiapkan untuk menggelar pesta terlupakan begitu saja. Serasa dunia telah berakhir. Pesta yang telah disiapkan secara matang berantakan tak sesuai rencana. Sementara itu warga satu per satu meninggalkan tempat ini tanpa suara. Keheningan malam ini terasa begitu memilukan. Hanyalah kekecewaan dan kesedihan yang tergambar dari wajah mereka. Inilah kenyataan dari rahasia sebuah drama kehidupan. Manusia boleh berencana, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Dengan langkah yang lunglai masing-masing pulang membawa getir. Antusiasme mereka terkubur sudah.

***

Keesokan hari saat mentari merayap di ufuk barat. Senja yang hangat untuk merajut kebersamaan.  Didepan rumah itu terlihat beberapa orang asyik bercengkrama terlibat diskusi kecil tak ketinggalan pak kure sang pemilik rumah.
             
             ”Beta masih sakit rasanya ingat kejadian semalam”, ujar sang pemilik rumah dengan suara parau.
            “Itu su Pak Kure karena ketong sonde jaga nomor 10 talalu kasi bebas na”, temannya menimpali.
            “Ketong pung anak –anak stamina ju kurang mendukung”, sambar seorang teman lainnya.
            “Ho…kalau ketong pung stamina seperti partai sebelumnya b rasa ketong sonde bernasib seperti ini,“ tandas Pak Kure seolah membenarkan perkataan temannya. 

Matanya menerawang jauh ke angkasa diatas sana. Entahlah apa yang dipikirkan dan dirasakan. Obrolan mereka terhenti saat istri Pak Kure datang membawakan suguhan pisang rebus dan kopi.
            
                “Terima Kasih Ibu”, ucap rekan – rekannya kompak tanpa komando.
        
Hanya senyuman kecil sembari mempersilahkan para tetamu lalu sang istripun berlalu meninggalkan mereka.
            
             “Ini seperti Dejavu”, sambar seorang temannya mengawali pembicaraan.
            “Betul belum sembuh luka yang kemarin, sudah bertambah boroknya, balas seorang dari mereka.
            “Mungkin ini kutukan karena pengurus PSSI kerja sonde becus dan sond ada kesungguhan untuk membangun sepakbola negeri ini”, tandas Ziz lelaki paling tua diantara mereka.
            “Atau karena ketong pung Ketua Federasi ikut nonton secara langsung makanya ketong kalah? Tapi kalau teman-teman perhatikan ada hal yang janggal di kostum ketong pung pemain. Mungkin diseluruh dunia hanya ketong yang pasang lambang Negara di kostum. Beta kalau bisa jadi pengurus beta mau usul kalau bisa jang pasang lambang Negara di kostum tapi pakai lambang federasi sa seperti Negara-negara lain. Kalau memang mau buat semacam filosofi dan julukan tim kenapa sonde ganti lambang federasi dengan unsur binatang khas Indonesia seperti Komodo atau Cendrawasih? Daripada harus pasang lambang Negara su begitu itu bukan binatang khas Indonesia tapi hasil mitologi atau kermana menurut kawan dong?” lanjut Pak Ziz setengah berpidato.


Pak Kure tampak tak menggubris apa yang sedang teman-temannya perbincangkan. Ia masih terdiam dengan mata berkaca - kaca menatap langit. Asyik dengan lamunannya sendiri. Terkenang olehnya 20 tahun silam saat ia hidup di negeri seberang. Saat dimana ia didera oleh penyiksaan dan yang paling menyakitkan adalah ketika ia juga harus menerima hinaan dari majikannya sebagai bangsa biadab, bangsa budak, serta bangsa tak berbudaya. Ingin rasanya ia balaskan semua rasa sakit itu namun apa daya ia hanyalah orang kecil. Satu-satu harapannya untuk menutupi luka yakni merasakan kebanggaan sebagai seorang anak bangsa. Itulah yang sering diimpikannya agar bangsanya tidak lagi dipandang sebelah mata. Sayang seribu sayang pesta yang disiapkan untuk mengobati luka malah menjadi tangisan pilu. Derita dan sakit yang ia pernah rasakan belum jua terbalaskan Pelan-pelan airmata menetes di pipinya. Sementara itu rekan-rekannya yang lain masih asyik membicarakan kekalahan semalam.    

Temaram senja semakin menggelapkan suasana desa TKI yang mayoritas warganya merupakan Tenaga Kerja Indonesia yang di eksport ke luar negeri khususnya Negara tetangga Malaysia.  Kepedihan hati Pak Kure menjadi kepedihan semua mereka karena harapan mereka pupus sudah. Berpesta untuk luka yang telah disembuhkan masih menjadi mimpi yang entahlah sampai kapan….mungkin nanti saat desa mereka telah berganti nama bukan lagi menjadi desa TKI. Hmmmm…..mereka pasrahkan pada rembulan yang tampak ikut larut dalam kesedihan mereka untuk sebuah pesta yang tertunda.
           
Beta : Saya, aku
Ketong : kita
Pung : punya
Sonde : tidak
Sa : saja

4 komentar: