Menanti simfony sebuah malam saat senja
kian temaram. Kilau bintang janganlah padam, harap mereka. Banyak orang mulai
berkumpul dan bercakap-cakap tentang pesta malam ini. Satu ekor Babi yang
tersisa di kandang telah dikorbankan sang pemilik rumah untuk merayakan pesta
yang sebentar lagi akan digelar. Berbagai persiapan sudah matang yang langsung
dikoordinir oleh sang pemilik rumah yang tidak lain adalah Ketua RT sekaligus
tokoh yang dituakan di tempat ini.
Di dalam ruangan yang cukup luas,
semua berkumpul untuk bersiap-siap menggelar pesta. Sang pemilik rumah duduk
paling depan dengan penuh senyum seakan percaya bahwa malam ini merupakan malam
gembira untuk warganya. Saat yang dinanti pun tiba. Mereka larut dalam satu
keyakinan pesta ini milik kita!!
Tampak sang pemilik rumah duduk
bersandar pada sebuah kursi. Kopi diseruputnya pelan-pelan. Kepulan asap rokok
keluar dari mulutnya memenuhi seisi ruangan layaknya cerobong asap pabrik
semen. Dadanya bergetar hebat. Napasnya
turun naik tak beraturan. Suaranya menggelegar memecah kesunyian malam.
Kegaduhan malam ini menambah semarak suasana hingar bingar disini. Sesekali ia berdiri meninju langit – langit
kosong kemudian kembali duduk seperti pose semula dengan wajah cemas. Terkadang
matanya melirik jarum jam yang berdetak menanti detik demi detik yang
diinginkannya. Sorot matanya tajam kedepan tak berkedip barang sedetikpun
seolah tak ingin terlewatkan setiap moment malam ini. Ia masih menanti sesuatu
terjadi. Tampak pula sekumpulan pemuda yang duduk tidak jauh darinya ikut larut
dalam derap irama yang sama mengikuti setiap gerakan dan teriakan membahana ke
angkasa laksana doa dan harap untuk Sang Khalik.
Sayang detik impian itu tak kunjung
menghampiri mereka. Waktu tanpa terasa menunjukkan pukul 11.00 malam. Bulan
Purnama yang sedari tadi menemani kini tak terlihat lagi berganti rintik-rintik
hujan. Wajah mereka mulai menampakkan keresahan diujung waktu untuk sebuah
penantian panjang. Dan tibalah waktunya ketika detik istimewa yang didambakan
tak kunjung menghampiri mereka. Yang mereka dapatkan justru detik yang tak
melegakan hati, detik yang melukai hati bagaikan ditikam belati tajam. Mereka
semua terdiam. Seketika suasana rumah berubah menjadi senyap seperti tak
berpenghuni. Sorak - sorai dan gegap
gempita hilang bagai di telan bumi. Mereka tak mampu lagi untuk sekedar
bersuara. Masing-masing dengan pikirannya, tertunduk lesu. Detik yang datang
tak seindah yang diharapkan. Mereka seperti tak percaya atas kenyataan yang
terhampar didepan mata.
Pak tua sang pemilik rumah lantas
bangun dari posisi duduknya bergegas masuk kamar tanpa pamit. Matanya sembab
menahan tangis. Makanan yang telah disiapkan untuk menggelar pesta terlupakan
begitu saja. Serasa dunia telah berakhir. Pesta yang telah disiapkan secara
matang berantakan tak sesuai rencana. Sementara itu warga satu per satu meninggalkan
tempat ini tanpa suara. Keheningan malam ini terasa begitu memilukan. Hanyalah
kekecewaan dan kesedihan yang tergambar dari wajah mereka. Inilah kenyataan
dari rahasia sebuah drama kehidupan. Manusia boleh berencana, tetapi Tuhanlah
yang menentukan. Dengan langkah yang lunglai masing-masing pulang membawa
getir. Antusiasme mereka terkubur sudah.
***
”Beta masih sakit rasanya ingat
kejadian semalam”, ujar sang pemilik rumah dengan suara parau.
“Itu su Pak Kure karena ketong
sonde jaga nomor 10 talalu kasi bebas na”, temannya menimpali.
“Ketong pung anak –anak stamina ju
kurang mendukung”, sambar seorang teman lainnya.
“Ho…kalau ketong pung stamina
seperti partai sebelumnya b rasa ketong sonde bernasib seperti ini,“ tandas
Pak Kure seolah membenarkan perkataan temannya.
“Terima Kasih Ibu”, ucap rekan –
rekannya kompak tanpa komando.
Hanya senyuman kecil sembari
mempersilahkan para tetamu lalu sang istripun berlalu meninggalkan mereka.
“Ini seperti Dejavu”, sambar seorang
temannya mengawali pembicaraan.
“Betul belum sembuh luka yang
kemarin, sudah bertambah boroknya, balas seorang dari mereka.
“Mungkin ini kutukan karena
pengurus PSSI kerja sonde becus dan sond ada kesungguhan untuk membangun
sepakbola negeri ini”, tandas Ziz lelaki paling tua diantara mereka.
“Atau karena ketong pung Ketua
Federasi ikut nonton secara langsung makanya ketong kalah? Tapi kalau
teman-teman perhatikan ada hal yang janggal di kostum ketong pung pemain.
Mungkin diseluruh dunia hanya ketong yang pasang lambang Negara di kostum. Beta
kalau bisa jadi pengurus beta mau usul kalau bisa jang pasang lambang Negara di
kostum tapi pakai lambang federasi sa seperti Negara-negara lain. Kalau memang mau
buat semacam filosofi dan julukan tim kenapa sonde ganti lambang federasi
dengan unsur binatang khas Indonesia seperti Komodo atau Cendrawasih? Daripada
harus pasang lambang Negara su begitu itu bukan binatang khas Indonesia tapi
hasil mitologi atau kermana menurut kawan dong?” lanjut Pak Ziz setengah
berpidato.
Pak Kure tampak tak menggubris apa
yang sedang teman-temannya perbincangkan. Ia masih terdiam dengan mata berkaca
- kaca menatap langit. Asyik dengan
lamunannya sendiri. Terkenang olehnya 20 tahun silam saat ia hidup di negeri
seberang. Saat dimana ia didera oleh penyiksaan dan yang paling menyakitkan
adalah ketika ia juga harus menerima hinaan dari majikannya sebagai bangsa biadab,
bangsa budak, serta bangsa tak berbudaya. Ingin rasanya ia balaskan semua rasa
sakit itu namun apa daya ia hanyalah orang kecil. Satu-satu harapannya untuk
menutupi luka yakni merasakan kebanggaan sebagai seorang anak bangsa. Itulah
yang sering diimpikannya agar bangsanya tidak lagi dipandang sebelah mata. Sayang
seribu sayang pesta yang disiapkan untuk mengobati luka malah menjadi tangisan
pilu. Derita dan sakit yang ia pernah rasakan belum jua terbalaskan Pelan-pelan
airmata menetes di pipinya. Sementara itu rekan-rekannya yang lain masih asyik
membicarakan kekalahan semalam.
Temaram senja semakin menggelapkan
suasana desa TKI yang mayoritas warganya merupakan Tenaga Kerja Indonesia yang di
eksport ke luar negeri khususnya Negara tetangga Malaysia. Kepedihan hati Pak Kure menjadi kepedihan
semua mereka karena harapan mereka pupus sudah. Berpesta untuk luka yang telah
disembuhkan masih menjadi mimpi yang entahlah sampai kapan….mungkin nanti saat
desa mereka telah berganti nama bukan lagi menjadi desa TKI. Hmmmm…..mereka
pasrahkan pada rembulan yang tampak ikut larut dalam kesedihan mereka untuk sebuah
pesta yang tertunda.
Beta : Saya, aku
Ketong : kita
Pung : punya
Sonde : tidak
Sa : saja
mantap bro......
BalasHapusTerima kasih bro untuk atensinya
HapusTerima kasih bro untuk atensinya
HapusTerima kasih bro atas atensinya.
BalasHapus