Kemarin kuhabiskan waktu liburku sehari penuh untuk bermain bersama anakku. Kami bermain sepuasnya, bercengkerama bersama, tertawa riang, dan menggauli waktu dengan penuh suka cita. Anakku terlihat begitu bersemangat, akupun larut didalamnya. Sorot mata anakku memancarkan kebahagiaan yang tak terkira dan dari caranya menatapku dapat kurasakan bahwa ia pun sangat menyayangi serta menghormatiku sebagai ayahnya. Aku merasa bangga menjadi seorang ayah.
Ketika anakku memelukku kurasakan ada kekuatan yang maha dashyat yang begitu lembut namun memiliki efek yang memancarkan kedamaian teramat sangat. Ketika anakku melompat kegirangan dengan tawa yang lepas kurasakan betapa indahnya dunia ini. Beban juga penat rutinitas kehidupan seketika sirna tak berbekas. Melewati waktu dari pagi hingga malam hari bermain bersama anakku tak terasa capek apalagi suntuk, semuanya begitu indah untuk dilewatkan. Aku merasa hebat sebagai seorang ayah.
Ketika anakku memelukku kurasakan ada kekuatan yang maha dashyat yang begitu lembut namun memiliki efek yang memancarkan kedamaian teramat sangat. Ketika anakku melompat kegirangan dengan tawa yang lepas kurasakan betapa indahnya dunia ini. Beban juga penat rutinitas kehidupan seketika sirna tak berbekas. Melewati waktu dari pagi hingga malam hari bermain bersama anakku tak terasa capek apalagi suntuk, semuanya begitu indah untuk dilewatkan. Aku merasa hebat sebagai seorang ayah.
“Sebelum tidur harus sembayang dulu,” pintaku padanya.
“Kenapa harus sembayang?,” Tanya anakku.
“Ia biar Tuhan jaga kita”, jawabku.
“Tuhan tolong jaga papa, mama, opa, oma, semua –muanya amin,” doa anakku singkat.
“Pa….besok main lagi ya.” Pinta anakku.
“Iya”
jawabku sambil mengangukkan kepala tanda setuju.
Anakku
lalu memelukku erat sembari mendengar dongeng dari mulutku dan tak berapa lama
kemudian ia tertidur pulas disisiku. Kucium keningnya dan kubisikkan aku
mencintaimu nak! Kutatap sekujur tubuhnya yang mulai bertumbuh dan pasti cepat
atau lambat ia akan beranjak dewasa. Raut wajahnya tampak kelelahan setelah
sehari penuh bermain bersamaku.Terselip namanya dalam doaku.
***
Siang
hari saat mentari begitu bercahaya memancarkan panas yang menyengat. Di depan
beranda rumahku aku duduk sambil beristirahat sejenak sehabis makan sebelum
kembali ke kantor. Es teh yang sedari tadi dihidangkan istriku kunikmati
perlahan sambil melepas lelah.
“Pa
ayo,” pintanya.
“Nanti
ya klo papa libur lagi kayak kemarin”.
“Sekarang
saja… yuk,”pintanya dengan nada memohon.
“
Sekarang papa lagi sibuk tidak bisa nanti saja ya,”
“Nanti
kapan pa?”
“Nanti
disaat papa tidak sibuk ok,” tandasku.
Wajahnya
mengguratkan kekecewaan karena aku tak menemaninya bermain seperti kemarin. Ia
pun bergegas meninggalkanku seakan mencoba memaklumi dan memaafkan keadaanku
yang saat ini tak bisa menemaninya bermain. Aku mengikuti langkahnya dengan
mataku, merasakan kekecewaan darinya. Kaki mungilnya yang menggemaskan
melangkah menjauh dariku seakan menamparku dengan dosa berat karena menolaknya.
Dan seketika terlintas masa kecilku saat
masih seusianya.
Pikiranku
melayang tak karuan. Perasaan ini mengajakku
berkelana ke masa silam. Masa dimana aku begitu marah pada keadaan karena aku tak memiliki ayah.
Sosok ayah mendadak penuhi ruang batinku. Masa kecilku tidak seperti anakku. Tak
sadar, aku meneteskan air mata kerinduan akan sosok ayahku yang telah lama pergi
meninggalkan aku dan ibu disaat diriku sebenarnya masih membutuhkan kasih
sayangnya.
Teringat
kembali dulu saat melihat teman sebayaku bergelayut mesra di gendongan ayahnya
lalu bertanya padaku dimana ayahmu?? saat itu bibirku terkunci tak mampu
memberi jawaban hanya bisa diam lalu pergi begitu saja meninggalkannya. Aku juga
masih ingat saat dimana banyak orang iba padaku bahkan banyak juga orang yang
melecehkanku hanya karena aku tak memiliki ayah. Aku juga pernah menangis di
pangkuan ibuku dan menyalahkan ayah yang meninggal begitu cepat. Pernah pula aku berontak tidak terima dengan
keadaan dimana banyak orang menghina dan menyepelekan kami hanya karena ibuku
seorang janda dan aku anak yatim. Tapi semua itu ditanggapi ibu dengan tenang
sembari mengatakan padaku untuk menyerahkan semuanya pada Tuhan. Tuhan tahu
mana yang terbaik. Itulah yang selalu diucapkan ibuku.
“Bagaimana
rasanya punya ayah?,” batinku.
“Ayah
mengapa kau tinggalkan aku?”
Kupejamkan
mata dan kubiarkan imajinasi bermain-main dalam diriku membayangkan sosok
ayahku. Ayah bagiku adalah ibuku. Imajinasiku tetap tak mampu menghadirkan
sosok ayahku. Bilik hatiku tak mampu menterjemahkan rasanya memiliki seorang ayah sesungguhnya.
Mungkin karena aku terlalu kecil untuk sekedar mengenal ayahku saat meninggalkan
dunia. Saat itu usiaku masih 1 tahun. Tak cukup waktu bagiku untuk mengenal
sosok ayahku. Rupa ayahku pun kutahu hanya karena beberapa foto ayah yang masih
disimpan ibu. Dari foto-foto yang kulihat, guratan wajahnya ada sebagian di
wajahku. Semua tentang ayah kutahu dari cerita ibu serta orang-orang dekat yang
mengenal ayah. Apa yang mereka katakan itulah yang menjadi peganganku tentang
sosok ayahku. Hati kecilku berbisik lirih
tentang sabda kerinduan akan ayah.
***
Langit
biru diatas sana seolah melemparkan senyum padaku. Semilir angin senja ini
seakan memeluk aku dalam keteduhan. Rumput-rumput liar terus
bergoyang mengikuti irama alunan angin yang meliuk girang. Kupu-kupu yang
saling berkejaran meliuk diantara bunga-bunga liar. Laju kakiku terus menyusuri
jalanan tanah dan berbatu ini. Bunga kamboja yang berjatuhan di tanah seakan
menuntunku menuju tempat bersemayam
terakhir ayahku. Istri dan anakku yang berjalan mengikuti dibelakangku seakan turut
merasakan kerinduan yang kurasakan. Mereka seperti memahami kerinduanku dengan
membiarkan aku mendahului mereka. Langkahku tergopo-gopo seiring kerinduan yang
bergemuruh di dadaku.
Keheningan tempat ini membawaku khusyuk berdoa kepada Sang Khalik. Doa dari seorang anak untuk ayahnya. Kuyakin
diatas sana ayah telah berbahagia bersama-NYA dan menjadi pendoa bagi kami yang
masih berziarah di dunia ini. Ayah… maafkan aku anakmu yang masih selalu menggugat
kehadiranmu didalam hidupku.
Lilin-liin
kecil tampak meleleh pelan seperti tetesan airmataku. Bunga rampai dalam genggaman tanganku kutaburi diatas pusara ayahku. Lalu kucium
pusara itu dan semerbak aroma mewangi menyebar di sekitarku. Kekuatan hatiku
berkata pelan setengah berbisik,“Ayah sekalipun mungkin aku tak begitu mengenalmu, tetapi aku akan selalu
mencintaimu sampai kapanpun.“
Dedicated to my lovely Father in heaven
Tidak ada komentar:
Posting Komentar