Buih putih ombak
membelai mesra bibir pantai Nanganesa, Ende. Sang jejaka di ujung senja menatap
jauh menembus batas cakrawala. Tatapannya begitu jauh kearah mentari yang
perlahan mulai meredup atau mungkin juga kearah puncak gunung Meja didepannya. Entahlah… matanya seakan menerawang jauh
mencari-cari sesuatu di pantai ini. Lelaki itu kemudian berjalan menyusuri
setiap lekuk pantai ini, sesekali ia tersenyum pada hembusan angin sepoi yang
menerpa tubuhnya. Senyuman kerinduan yang menggebu.
Dari mulut
seorang bocah pantai bernama Kure, akupun tahu kalau jejaka ini bernama Vriq. Jejaka
dari Mbongawani yang selalu terkenang akan romantika pantai Nanganesa yang tak pernah
pudar. Perjalanan waktu tak mampu menghapus setiap jejak romantika yang selalu
mendekap lubuk hatinya hingga kini. Pongah
dan egolah yang memaksa sang jejaka terpaksa berpisah dengan sang kekasih
hatinya Tesha. Gadis manis blasteran Rote-Flores.
Dalam
kesendiriannya Vriq seakan kembali mengenang kisah yang pernah terukir disini. Ya
kenangan saat dimana sebuah ikrar tertancap kuat di dinding – dinding karang. Ketika
Tesha melempar senyum penuh pesona. Diulurkanlah
tangannya untuk menggandeng tangan Tesha penuh kemesraan untuk menikmati pesona
pantai disaksikan nyiur kelapa dan derai ombak yang tersipu. Sepotong pulau Koa
menjadi saksi ketika Tesha bergelayut mesra dalam dekapannya sembari lantunkan
kidung cinta.
Butir-butir pasir
seakan menghadirkan setiap jejak cintanya bersama Tesha didalam memory otaknya.
Bayang – bayang Tesha seakan hadir menemani kesendiriannya di pantai ini. Terangkum
jelas dalam benaknya ketika dengan penuh luka di sekujur tubuh ia menjemput
Tesha yang kala itu sedang bercengkerama dengan dinding-dinding batu cadas di
tangga alam. Tatapan cinta Tesha yang meneduhkan itu yang membuat luka di
tubuhnya seketika sembuh tak berbekas. Diboncengnya
Tesha meliuk-liuk diantara jalanan berbatu dan berliku dengan motor GL
bututnya. Keduanya tertawa riang hanyut dalam buaian cinta.
Penggalan kisah yang
terbingkai didalam sanubarinya begitu merasuki dalam sedalam kerinduannya akan
sosok Tesha. Gadis pujaan hatinya 14 tahun silam yang masih selalu bertahta
didalam jiwanya. Tesha tak pernah tahu kalau luka di tubuh Vriq 14 tahun silam itu merupakan bukti betapa
cinta begitu kuat mengikat Vriq hingga rela terluka berkelahi demi mendapatkan
Tesha. Perjuangan cinta itulah yang tak mungkin ia lakukan untuk gadis lain. Pengorbanan demi sebuah asa masa depan yang
terbentang. Langkah kakinya diikuti gumpalan awan pekat keraguan yang berarak penuhi
ruang batinnya untuk menjemput impian cinta
bersama Tesha atau justru mengkaramkan cinta didasar lautan asmara yang biru.
***
Pantai Charita
akhir 2001.
Pelangi tergolek
dibatas horizon. Aroma ikan bakar
menelusup tajam. Suara deru ombak berderai seperti menyanyikan tembang tentang
kesucian cinta. Cinta suci dua anak
manusia yang telah terpupuk jauh di
pantai selatan Ende berlanjut di Charita, Ujung Barat Jawa. Mengalun lembut
selembut untaian kata-kata cinta yang keluar dari mulut keduanya. Masih dengan
senyum dan keceriaan yang sama berkumandang tentang cinta sejati yang tak pernah
mati. Bergandengan tangan mengayunkan
angan coba meraih harapan tentang cinta yang alami terbentuk dari kokohnya alam
tanpa kontaminasi.
Kembali bercengkerama
mengukir kenangan. Melontarkan janji suci untuk setia sehidup semati dihadapan
alam. Saling suap gurihnya ikan bakar silih berganti diselingi tawa ceria
sungguh semakin meyakinkan dunia bahwa hanyalah maut yang mampu memisahkan
kedua anak manusia ini. Kekuatan cinta seolah terbukti meruntuhkan segala beda
yang tercipta. Ramai pengunjung pantai tak lagi dihiraukan demi sebuah alasan
yang suci cinta.
“Jao tidak akan
melepaskanmu sampai kapan pun,“ ucap Vriq.
“ Hmmm….gombal,” tawa
Tesha manja.
“Jao ngestei
serius ni…..mau disambar gledek atau badai?“ tanya Vriq setengah bercanda.
“Janganlah...khan
kasihan kalau kau disambar nanti Jao dengan siapa?, jawab Tesha.
Keduanya semakin
larut dalam dekapan cinta. Merangkai setiap kebersamaan. Desiran angin dingin
menguatkan cengkeraman keduanya untuk tak saling melepaskan. Pusaran waktu yang
tepatlah yang kini dinanti keduanya untuk bersanding di pelaminan. Kebahagiaan
terpancar dari raut wajah keduanya. Dua anak manusia ini serasa ingin memutar
waktu secepatnya agar bisa segera bersatu dalam ikatan suci yang abadi. Bangku kuliah
harus segera diselesaikan. Begitulah komitmen keduanya.
***
Setahun
berselang. Di kaki gunung Merapi keduanya terjebak kerumitan cinta. Bersanding
dalam pertengkaran hebat. Tak lagi akur apalagi mesra. Saling menuding satu
sama lain menjadi bumbu yang tak terelakkan. Ketidakpercayaan menjadi sumbu
yang menyulut api cemburu. Gemuruh emosi bercampur dengan kata-kata yang tak
pantas terucap. Keceriaan seketika sirna. Kebahagiaan tiba-tiba kabur,
terhempas. Membuncah di langit biru
Jogjakarta. Tangis pun pecah.
“Kau terlalu sekali ndoe,” ucap Vriq lirih.
“Mae gare rewo
kau!! Kau tu yang patut dicurigai sengaja tuduh saya”, balas Tesha.
“He…kau tu yang
sudah jelas-jelas tidak bisa dipercaya,” kejar Vriq.
”Jadi kau dengan
itu perempuan ata Jawa tu kau bilang apa??kau pikir saya juga tidak sakit
hatikah dengan kau?” sambar Tesha sembari terisak.
“He ko kau mae
bawa-bawa Ajeng cari alasan untuk menutupi kau punya,” tangkis Vriq.
Tesha dan Vriq
bukan saling merangkul melainkan saling menyerang. Ego mereka mengalahkan cinta
yang telah terjalin lama. Satu pihak merasa benar begitupun sebaliknya.
Perasaan mereka telah dikalahkan oleh naluri dan logika. Hilang sudah semua asa
dan rasa. Lenyap seakan tak pernah tercipta.
Setiap pertemuan dihiasi pertengkaran dan pertengkaran. Setiap
pembicaraan hanya tertuju pada titik yang membuat mereka bertengkar dan memilih
jalan perpisahan yang kelam. Walaupun di sudut ruang batin mereka sesungguhnya
menolak keras kenyataan pahit ini. Apa mau dikata manusia boleh berencana
tetapi Tuhanlah yang menentukan.
Sebuah kata maaf
sudah tak lagi berarti. Tembok cinta yang begitu kokoh seketika runtuh oleh
kesucian yang terabaikan. Sesal memang selalu datang terlambat tapi sesal juga
tak berguna bila penyesalan terbesar sebenarnya ketika mereka mengabaikan
perasaan cinta pada diri mereka masing -masing hanya karena sesuatu yang mencemari
lautan asmara.
Airmata keduanya
bertaut didalam lembah kepedihan. Terpuruk keduanya di sudut kota Jogjakarta. Keremangan
menjadi hiasan hati mereka. Airmata mengalir deras genangi ruang batin mereka. Jarak
yang dekat terasa jauh. Yang terlihat menjadi tidak terlihat lagi. Pekatkan
semua prasasti suci tentang cinta. Ingin merengkuh sepenuhnya kekuatan cinta
itu seperti sedia kala tetapi kekuatan cinta yang begitu kuat merobek-robek sisi
manusiawi dua anak manusia ini.
***
Petikan sasando
mengalun pelan. Dentingan dawai kerinduan terdengar menyayat hati. Debur ombak
keras menghantam pantai Nembrala – Rote.
Seakan menanti balasan rindu dari seberang lautan. Perasaan yang tak
terbantahkan tentang damainya cinta. Bergemuruh dalam dada Tesha. Sahut sang
jejaka tak jua terdengar. Mungkin butuh waktu untuk pemulihan mental yang
terkoyak.
Tidak. Jikalau ia
benar-benar mencintaiku tentu ia memaafkanku dengan segala khilafku seperti aku
telah memafkannya. Kata hati Tesha sembari terus menanti terbitnya mentari yang
memancarkan harapan baru tentang cinta yang tertanam begitu kuat untuk seorang
Vriq. Masihkah membekas dalam hatinya??gumam Tesha pada setiap hempasan ombak
yang datang menghampiri.
Rentang waktu
masih berpihak pada keduanya. Tesha masih
menunggu Vriq untuk menjemputnya seperti 14 Tahun silam. Di sudut pantai
Nembrala Tesha berharap – harap cemas. Tesha
menarik napas dalam dan berbisik lirih pada semilir angin senja, ”Jemputlah
diriku Vriq tidak dengan bilur-bilur luka di sekujur tubuhmu tetapi sebagai
seorang ksatria cinta yang mengagungkan cinta. Jadikan pantai ini pantai impian
cinta seperti yang pernah kau ucapkan bahwa cinta kita ibarat sebuah fenomena
alam.”
Jao
: Saya
Mae
: Jangan
Mae
gare rewo : jangan ngomong sembarang.
Ngestei
:katakan/beritahu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar