Sepakbola harus diakui tidak lagi sekedar olahraga tetapi telah berkembang menjadi sebuah industri dengan tuntutan yang serba sempurna. Maklum, ada banyak putaran duit yang telah diinvestasikan.
Ketika putaran uang diutamakan maka syarat utama adalah keuntungan. Apapun dan bagaimana pun cara meraup keuntungan, asal jangan rugi, sepakbola pada posisi yang terjepit dan akan mengikuti pemilik alur uang.
Tembok-tembok kokoh industri rupanya telah melunturkan 'cat' tata krama yang menjadi warna terindah dalam menjaga kemurnian sepakbola.
Ke-sexy-an industri yang erat kaitannya dengan gelimangan uang membuat banyak pihak yang terlibat dalam olahraga yang paling digemari sejagad melupakan apa arti sebuah penghormatan dan penghargaan pada seseorang atas jasanya pada sepakbola. Hasil akhir senantiasa menjadi patokan tanpa mempertimbangkan romantisme proses manusiawi yang dibangun dengan susah payah.
Entah siapa yang memulai membangun tembok kokoh bernama industri pada sepakbola. Satu yang pasti tata krama yang mesti menjadi pembungkus dan dasar seketika lenyap tak berbekas demi 'kesempurnaan bisnis' yang berujung 'prestasi bisnis'.
Kasus Leicester City dan Opa Ranieri telah secara gamblang menjelaskan kepada kita betapa sulitnya menyingkirkan pengaruh industri pada tatanan nilai-nilai yang tumbuh dalam diri sepakbola.
Pemecatan secara tiba-tiba yang dilakukan manajemen Leicester City terhadap Ranieri merupakan potret buram yang mesti dijadikan pelajaran bagi siapa pun yang hidup di era industrialisasi seperti sekarang ini.
Bahkan manajer sekelas Mourinho langsung angkat bicara soal pemecatan tersebut dengan mengeluarkan komentar yang cukup menohok bahwa seharusnya King Power Stadium yang menjadi markas Leicester berganti nama menjadi Claudio Ranieri Stadium. Saking begitu besarnya jasa seorang pria Italia berjulukan Mr. Runner Up. Tapi apa yang ia peroleh dari itu semua selain uang??
Kisah bak negeri dongeng yang dijalani seorang Ranieri bersama Leicester musim lalu seketika direnggut paksa atas nama industri karena posisi klasemen yang tak elok. Kita pun ikut larut dalam jebakan atas nama profesionalisme yang dibungkus keuntungan finansial dalam jubah industri yang menyeramkan.
Tidak adanya payung hukum yang dapat dijadikan solusi untuk melestarikan tata krama dalam tubuh sepakbola di tengah gencarnya industi merupakan satu hal yang mesti diperjuangkan.
Karena ketika tata krama tidak lagi melekat dalam diri sepakbola. Ketakutan saya, di masa mendatang komoditas industri sepakbola bernama pemain dan pelatih tak ubahnya seperti kisah telenovela yang dapat diatur sesukanya sesuai selera kisah sang pemilik modal.
Alhasil, sebuah pertandingan sepakbola bukan lagi mempertontonkan keahlian mengolah si kulit bundar melainkan keahlian sang pemilik bisnis bersekongkol meraup keuntungan untuk menaikkan brand tertentu. Area teknis ibarat hanyalah sebuah menara sebagai simbol bahwa inilah sepakbola. Tidak lebih.
Pemilik modal besar misalnya A, B, dan C akan menguasai piala tertentu dan pemilik modal sedang dengan kejuaraan tertentu, hingga yang pas-pasan untuk kejuaraan tertentu pula. Persengkongkolan bisnis dalam sepakbola ini akan menjadikan sepakbola kehilangan gairah perjuangan, determinasi, dan yang paling penting adalah cinta yang tumbuh dan mekar dalam tubuh sepakbola itu sendiri.
Pada akhirnya, seorang pemain maupun pelatih yang berkecimpung dalam sepakbola kehilangan imajinasi natural sebagai magnet yang sexy dalam tubuh sepakbola karena telah tergerus oleh imajinasi liar sang pemilik modal.
Atas nama pecinta olahraga ini, saya berharap sepakbola tetap dengan jati dirinya dalam bungkusan tata krama yang hidup dan melekat dalam sebuah filosofi yang murni untuk kemajuan sepakbola bukan kemajuan bisnis sang pemilik modal.
Salam olahraga,
Joe Frigerio
Tidak ada komentar:
Posting Komentar