Luis Milla dan pasukan timnas u-22 tentu tak berharap mengalami kekalahan saat bermain dihadapan pendukungnya sendiri di Stadion Pakansari. Apalagi kalah dengan skor mencolok 3-1.
Kekalahan dari Myanmar tentu jauh dari ekspektasi publik sepakbola nasional. Keinginan besar suporter untuk melihat perubahan warna permainan timnas ala tiki-taka justru seperti anti klimaks karena yang ditunjukkan malah permainan yang jauh dari kata memuaskan. "Ini bukan tiki-taka, ini tipu-tapa," kata seorang teman yang kesal saat nonton bareng.
"Kalau begini ceritanya tak perlu mengeluarkan uang banyak untuk mendatangkan pelatih timnas. Mending pakai saja pelatih lokal seperti Indra Safry," sambung teman saya lainnya menimpali.
Apakah perlu kita salahkan PSSI dan Luis Milla? Saya pikir tidak perlu kita lekas menunjuk jari untuk sebuah kekalahan dan saya kira tidak fair juga segera mengatakan itu adalah kesalahan.
Kita mesti mafhum bahwa Luis Milla baru memimpin tim kurang lebih sebulan. Itu pun lebih banyak waktu dihabiskan untuk menyeleksi para pemain timnas. Pembentukan pola permainan dengan waktu sesingkat itu tentu bukanlah hal mudah. Apalagi para pemain baru berkumpul.
Selain hal tersebut, lawan yang dihadapi adalah tim senior Myanmar yang sudah berkumpul sejak lama dan merupakan tim semifinalis AFF Suzuki Cup yang baru berakhir akhir tahun 2016.
Ketika Milla menyetujui dan menandatangani kesepakatan bersama PSSI dalam kontrak, saat itu sebenarnya Milla masuk di tengah badai sepakbola Indonesia dengan berbagai kendala khas sepakbola Indonesia.
Reputasinya sebagai seorang pelatih jempolan pun kini dipertaruhkan. Maklum, bukan baru kali ini PSSI mendatangkan pelatih jempolan dengan prestasi mengagumkan dan nama besar. Milla adalah orang kesekian dalam sejarah sepakbola Indonesia. Pertanyaannya, mampukah Milla menghadapi badai dan keluar sebagai pemenang yang membedakan dia dari pelatih-pelatih kaliber yang didatangkan PSSI sebelumnya??
Bila merujuk dari hasil uji coba laga perdana, sepertinya Milla tidak berbeda jauh dari para pendahulunya. Kesalahan Milla masih sama dengan pendahulunya yakni masuk dalam badai dan mencoba menaklukan badai dengan cara dan gaya Eropa bukan dengan cara dan gaya Indonesia. Memang ada beda??
Jelas berbeda. Di Eropa, pelatih timnas hanya membutuhkan waktu pelatnas singkat untuk mematangkan cara bermain dengan strategi yang akan diterapkan karena pemain yang dipanggil sudah memenuhi standar kelayakan. Di Indonesia, pola seperti itu masih belum bisa diterapkan karena pelatih timnas masih disibukkan dengan hal-hal mendasar misalnya teknik dasar seperti mengontrol, passing, menjaga bola, dll. Belum lagi terkendala kondisi fisik yang tidak memenuhi standar dan hal-hal non teknis seperti jadwal, tarik ulur kepentingan antara klub dan timnas, serta yang paling menggelikan tentu saja soal pemain titipan oleh oknum dalam tubuh PSSI itu sendiri. Singkatnya, di Indonesia belum ada standar kelayakan.
Perbedaan yang sangat signifikan tersebut tentu harus dipahami dengan baik. Dalam konteks sebagai pelatih timnnas, Luis Milla dan asistennya mesti benar-benar paham ciri badai sepakbola Indonesia sehingga bisa menemukan solusi untuk lolos dari terjangan badai tersebut. Artinya, pendekatan dan frame berpikir ala Eropa mesti ditanggalkan lalu mulai berpikir ala Indonesia karena badai yang dihadapi terjadi di Indonesia.
Maksudnya jelas, dengan komplikasi penyakit yang menggerogoti tubuh sepakbola Indonesia, coach Milla mestinya mulai mendiagnosis dan membedah satu per satu penyakit dan mulai berpikir bagaimana solusi untuk mengobati penyakit kambuhan tersebut akibat pengelolaan yang buruk saat semua pemain berkumpul di Timnas. Maklum, sudah menjadi budaya yang mengakar dalam sepakbola Indonesia alias penyakit keturunan.
Tentang kesalahan ini, saya pernah menyebutnya dalam tulisan pada blog ini bahwa pelatih timnas mesti memahami karakter dan budaya sepakbola Indonesia sepenuhnya.
Belum lagi kendala bahasa. Milla dan asistennya asal Spanyol tak bisa berbahasa Indonesia. Bahwa disediakan peterjemah bukan berarti melancarkan komunikasi terutama bila berkaitan dengan membangun komunikasi personal dengan para pemain serta melakukan instruksi di saat laga berlangsung dari pinggir lapangan.
Luis Milla boleh jadi memiliki reputasi yahud kala membawa La Furia Roja Junior meraih gelar Eropa. Luis Milla juga dikenal atas penemuan sejumlah bakat hebat yang kini wara-wiri di pentas sepakbola dunia. Tapi Luis Milla bukanlah superman.
Ini baru laga perdana. Lebih baik kalah pada laga uji coba dari pada kalah pada laga resmi kompetisi. Kekalahan menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki yang masih terlihat kurang untuk disempurnakan. Namun, di sisi lain kekalahan perdana boleh jadi indikasi buruknya hasil-hasil yang akan diperoleh di waktu mendatang.
Mari bersabar dan menyiapkan waktu yang lebih banyak bagi Milla berinteraksi dengan para pemain. Mumpung kompetisi belum dimulai, alangkah baiknya para pemain terus "digembleng" oleh Milla jangan dipulangkan dulu ke klub merupakan salah satu solusi.
Ingat! Milla bukanlah superman apalagi aladin. Karena itu perlakukan dia bukan seperti memperlakukan superman dan aladin. Sekali minta langsung dikabulkan. Butuh proses dan proses itu membutuhkan waktu.
"Lain padang, lain ilalang," pepatah kuno ini mesti dipahami baik-baik oleh Senor Milla bila tak ingin terjebak dalam badai yang justru akan mematikannya.
Salam Olahraga,
Mantap betul, tidak apa kalah sekarang tapi menang di akhir, semoga luis milla bisa membawa perubahan besar utk sepak bola bangsa ini :)
BalasHapus