Selamat Datang By JoeFrigerio

Menu

Animated Buttons - "Pressed Effect"

...

Slideshow

Automatic Slideshow

Change image every 3 seconds:

1 / 3
Bahagia Itu Sederhana
2 / 3
Beriman Itu Sederhana
3 / 3
Hidup Penuh Syukur

Rabu, 10 Mei 2017

Rossi dan Keinginan Membalap


Valentino Rossi, nama yang harum semerbak di lintasan MotoGP. Harus diakui kehadirannya di MotoGP telah berhasil membuat jutaan orang menjadi pengikut setia MotoGP.
Vale merupakan legenda hidup di MotoGP. Kemampuannya tidak diragukan lagi. 9 gelar juara dunia adalah buktinya.

Gaya balap dengan karakter yang nyentrik membuat arena MotoGP menjadi tontonan menarik kala 46 adu cepat di lintasan. Rossi sudah identik dengan MotoGP. Saking identiknya, bahkan di daerah saya orang tidak menyebut mau menyaksikan MotoGP tapi ingin menyaksikan Rossi. Jujur saja, saya pun tertarik menyaksikan MotoGP karena Rossi tapi itu dulu.

Pasca Rossi memutuskan untuk terus membalap hingga saat ini (beberapa tahun lalu), saya pun mulai meninggalkan Rossi. Benar bahwa ketika mendekati usia kepala 4 Rossi masih membalap adalah hal yang luar biasa namun di sisi lain justru menjadi abu yang mencoreng kecermelangan karir Vale tanpa disadari sepenuhnya.

Saya melihat ada ambisi yang terpancar dari dalam diri Rossi sekaligus tanpa sadar menggerus karakter balapnya yang lama menjadi trademarknya. Ambisi tersebut dikawinkan dengan padu oleh kaum kapitalis untuk terus merengkuh keuntungan karena kehadiran Vale di lintasan. Disinilah, sebenarnya lonceng kematian dibunyikan dalam karir Rossi. Abu-abu kotor beterbangan menutupi kecermelangan karirnya selama ini karena gagal bersaing dengan para pebalap muda lainnya. Ini yang menurut saya tidak disadari dan tetap dipaksakan. Sebuah kombinasi yang tepat yakni ambisi dan keuntungan.

Apa yang terjadi selanjutnya? Generasi baru MotoGP melihat Vale sebagai pebalap yang punya nama besar tanpa punya skill mumpuni karena yang mereka saksikan saat ini, saat dimana Rossi sudah tak segahar dulu. Inilah yang saya tidak mau terjadi pada bintang besar sekelas Rossi.

Sampai pada titik ini, akhirnya saya membenarkan agadium bahwa ambisi yang terlalu besar kadang membuat seseorang melupakan segala hal demi memenuhi ambisinya. Ya...saya melihat demi memenuhi ambisi meraih gelar kesepuluh, Rossi dimanfaatkan dengan baik oleh para pemain bisnis di lintasan MotoGP yang justru menggiring Rossi masuk dalam jurang dalam bernama kehampaan. Hal dimana Rossi akhirnya tidak mendapatkan tempat yang selayaknya sebagai seorang legenda yang dihormati. Ketakutan saya, Rossi malah semakin kesini makin terpuruk dan yang memalukan adalah ketika harus melakukan tindakan tak terpuji selanjutnya. Ini tentu sungguh mengotori jejak yang sudah dibangun begitu rupa.

Ini hanya anggapan pribadi saya saja karena saya tidak ingin melihat Rossi seperti halnya Maradona atau Roger Milla tetapi saya ingin melihat Rossi seperti seorang Frans Beckenbauer atau Pele. Kenapa? Karena publik tidak pernah sampai melihat mereka terpuruk dalam karir profesionalnya sehingga mereka mendapatkan tempat terhormat.

Sekelas Rossi, saya kira sudah saatnya menjadi penasihat tim. Level balapnya sudah teruji di lintasan dan kini harus naik tingkat. Usia tak bisa bohong. Keberanian, kelincahan, dan kepekaan perhitungan bermanuver sudah semakin berkurang adalah indikasinya.
Ingat! setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya.
posted from Bloggeroid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar